Maraknya perilaku plagiarisme dalam dunia pendidikan tinggi salah satu faktor pemicu utamanya karena belum bertumbuhnya kultur akademik atau suasana ilmiah dalam perguruan tinggi kita.
Sementara pada sisi lain jenjang karir untuk tenaga pendidik, khususnya dosen mempersyaratkan hal-hal yang bersifat akademik. Umpamanya penelitian, penulisan jurnal, penulisan buku dan lain-lain.
"Penguasaan kemampuan, baik pemikiran maupun skill, saintifik masih sangat rendah di kalangan dosen. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan peningkatan jenjang karir jalan pintasnya dengan melakukan hal yang tak terpuji yaitu plagiarisme,"papar pengamat pendidikan M Abduh Zen kepada Media Indonesia terkait adanya 100 dosen pada tahun 2012 melakukan plagiarisme seperti temuan yang dirilis Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud.
Rendahnya kemampuan saintifik tersebut, menurut Abduh Zen disebabkan proses pembelajaran, pergaulan, manajemen, dan suasana di kampus tidak memfasilitasi untuk tumbuh dan berkembangnya kemampuan ilmiah. Kebanyakan proses pembelajaran kita masih satu arah, dosen merasa serba tahu dan otoriter. Mereka kerapkali tak membuka diri untuk berdialog, berteman, berdiskusi yang mengembangkan nalar, baik secara formal maupun informal di kampus.
"Begitu juga pergaulan, relasi antar sesama warga kampus lebih banayak tak mengarah, tak terkait dengan tradisi akademis," tegas Abduh Zen yang juga dosen Universitas Paramadina Jakarta.
Beberapa kampus, ia mencontohkan, para dosen dan mahasiswanya berhari-hari memanfaatkan waktu senggangnya dengan bermain gaplek, mengisi teka teki silang dan lain-lain yang tidak intelek.
Selain itu,ungkapnya, manajemen kampus juga seringkali mengembangkan komunikasi yang tak setara. Mereka membuat aturan yang tak rasional. Rektor, dekan, ketua prodi dan lain lain berperilaku bagai pejabat "birokrasi" dengan membangun jarak kepada mahasiswa.
"Tak disadari bahwa memimpin PT tak sama dengan memimpin perusahaan atau menjadi atasa di sebuah jawatan pemerintahan. Kepemimpinan akademik harus dan mesti mendahulukan asas rasionalitas, efektifitas, dan dialogis. Lingkungan kampus, semuanya harus diseting atau iperhitugkan sebagai penunjang pembelajaran," ujarnya.
Karena suasana akademik tak berkembang, dan sejak mahasiswa tak dibudayakan dengan keterampilan akademis seperti menulis karya ilmiah, maka mahasiswa kita sudah terbiasa melakukan hal tak terpuji seperti mengupah mengerjakan tugas, membeli skiripsi, menyogok dosen, dosen menjilat ke dekan, dekan menjilat ke rektor, rektor menjilat ke dirjen, dirjen menjilat ke menteri, menteri menjilat ke presiden.
"Jadi tradisi ilmiah itu tak terbangun di kampus. Yang ada adalah kebiasaan menerabas, jalan pintas," tandas Abduh.
Ke depan, menurut Abduh,harus serius memikirkan pengembangan budaya ilmiah pada pendidikan tinggi kita. Misalnya, mereka para jajaran pemimpin perguruan tinggi merupakan primus inter pares atau yang terbaik, bukan hanya memiliki kepintaran dengan nilai atau IPK tinggi, tetapi mereka yang mau "ngopeni" mahasiswa. Aturan kampus benar-benar dibuat sebagai regulasi yang masuk akal dan feasible juga simple. Para dosen dilatih mengembangkan pembelajaran partisipatif dan dialogis dan sejenisnya.(Syarief Oebaidillah)
Editor : Deni Fauzan
Sumber : Metrotvnews.com
Sementara pada sisi lain jenjang karir untuk tenaga pendidik, khususnya dosen mempersyaratkan hal-hal yang bersifat akademik. Umpamanya penelitian, penulisan jurnal, penulisan buku dan lain-lain.
"Penguasaan kemampuan, baik pemikiran maupun skill, saintifik masih sangat rendah di kalangan dosen. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan peningkatan jenjang karir jalan pintasnya dengan melakukan hal yang tak terpuji yaitu plagiarisme,"papar pengamat pendidikan M Abduh Zen kepada Media Indonesia terkait adanya 100 dosen pada tahun 2012 melakukan plagiarisme seperti temuan yang dirilis Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud.
Rendahnya kemampuan saintifik tersebut, menurut Abduh Zen disebabkan proses pembelajaran, pergaulan, manajemen, dan suasana di kampus tidak memfasilitasi untuk tumbuh dan berkembangnya kemampuan ilmiah. Kebanyakan proses pembelajaran kita masih satu arah, dosen merasa serba tahu dan otoriter. Mereka kerapkali tak membuka diri untuk berdialog, berteman, berdiskusi yang mengembangkan nalar, baik secara formal maupun informal di kampus.
"Begitu juga pergaulan, relasi antar sesama warga kampus lebih banayak tak mengarah, tak terkait dengan tradisi akademis," tegas Abduh Zen yang juga dosen Universitas Paramadina Jakarta.
Beberapa kampus, ia mencontohkan, para dosen dan mahasiswanya berhari-hari memanfaatkan waktu senggangnya dengan bermain gaplek, mengisi teka teki silang dan lain-lain yang tidak intelek.
Selain itu,ungkapnya, manajemen kampus juga seringkali mengembangkan komunikasi yang tak setara. Mereka membuat aturan yang tak rasional. Rektor, dekan, ketua prodi dan lain lain berperilaku bagai pejabat "birokrasi" dengan membangun jarak kepada mahasiswa.
"Tak disadari bahwa memimpin PT tak sama dengan memimpin perusahaan atau menjadi atasa di sebuah jawatan pemerintahan. Kepemimpinan akademik harus dan mesti mendahulukan asas rasionalitas, efektifitas, dan dialogis. Lingkungan kampus, semuanya harus diseting atau iperhitugkan sebagai penunjang pembelajaran," ujarnya.
Karena suasana akademik tak berkembang, dan sejak mahasiswa tak dibudayakan dengan keterampilan akademis seperti menulis karya ilmiah, maka mahasiswa kita sudah terbiasa melakukan hal tak terpuji seperti mengupah mengerjakan tugas, membeli skiripsi, menyogok dosen, dosen menjilat ke dekan, dekan menjilat ke rektor, rektor menjilat ke dirjen, dirjen menjilat ke menteri, menteri menjilat ke presiden.
"Jadi tradisi ilmiah itu tak terbangun di kampus. Yang ada adalah kebiasaan menerabas, jalan pintas," tandas Abduh.
Ke depan, menurut Abduh,harus serius memikirkan pengembangan budaya ilmiah pada pendidikan tinggi kita. Misalnya, mereka para jajaran pemimpin perguruan tinggi merupakan primus inter pares atau yang terbaik, bukan hanya memiliki kepintaran dengan nilai atau IPK tinggi, tetapi mereka yang mau "ngopeni" mahasiswa. Aturan kampus benar-benar dibuat sebagai regulasi yang masuk akal dan feasible juga simple. Para dosen dilatih mengembangkan pembelajaran partisipatif dan dialogis dan sejenisnya.(Syarief Oebaidillah)
Editor : Deni Fauzan
Sumber : Metrotvnews.com
0 Response to "Maraknya Plagiarisme Akibat Kultur Akademik Rendah | OPINI"
Post a Comment