Dampak Negatif Emosi Orangtua Terhadap Psikologi Anak


Hampir setiap orangtua ada kalanya punya emosi yang tak terkendali dan membentak-bentak anaknya. Namun, bagaimana jika Anda kerap seperti ini ? Terapis dan ahli pendidikan keluarga semakin fokus mengenai dampak yang diakibatkannya dan bagaimana mencegah atas perilaku seperti itu terhadap anak-anak.

Melansir Wall Street Journal, para peneliti menemukan bahwa orangtua yang telah terbiasa memukul pantat anak-anak, menjadi semakin mudah (cepat marah) membentak-bentak untuk melampiaskan kemarahan dan kekecewaan mereka terhadap anak-anak. Sebanyak ¾ orangtua akan membentak, teriak-teriak dan bernada kasar karena kesalahan anak-anak/remaja atau sesuatu yang membuat mereka (orangtua) marah di rumah, dan hal ini rata-rata terjadi setiap sebulan sekali.


Kendati meninggikan suara tidak selalu hal yang buruk, dapat menarik perhatian dalam kondisi tidak menyakiti hal apa pun.


"Ketika Anda menjadikan teriakan sebagai senjata serangan fisik, menyalahkan anak-anak atau mengejek "apa kau tidak bisa ingat baik-baik atau kau selalu berbuat salah", maka hal ini akan melukai perasaan anak-anak." Demikian imbuh Adele Faber, penulis buku "How to Be the Parents You Always Wanted to Be" sekaligus merangkap pelatih parenting dari New York.


Sebuah survey terhadap 976 remaja kelas menengah berikut orangtua mereka menunjukkan, bahwa remaja yang dibina orangtuanya dengan pola "disiplin bahasa kasar" membentak atau mencaci maki lebih cenderung memiliki masalah perilaku (negatif) dan gejala depresi.


Studi lain menyiratkan, bahwa konsekuensi akibat dari bentakan terhadap anak-anak mungkin lebih serius daripada memukul pantat.


Sebuah studi dari Universitas Brown yang berlangsung selama 15 tahun menunjukkan, bahwa hubungan remaja saat menginjak usia 23 tahun yang dididik dengan pola bentakan oleh orang saat berusia 8 tahun, dengan kekasihnya itu kurang memuaskan. Orang tua yang mendidik secara bentakan mungkin akan kehilangan kesempatan mendidik anaknya tentang bagaimana mengatur emosi (suasana hati).


Julieann Barnhill, orator dan penulis buku "She's Gonna Blow" menuturkan : "Raungan (puncak emosi) adalah 90% kesalahan terbesar yang berdampak dari kesalahan kita". Sekarang dia mengajarkan teknik-teknik ini kepada orangtua lainnya melalui ceramah dan lokakarya.


Mrs.Savage, Chief Executive of Hearts at Home mengatakan, banyak orangtua yang marah karena mereka memiliki harapan yang tidak realistis ─ ─ misalnya anak yang berusia dua tahun dianggap tidak semestinya melanggar ketentuan orangtua. Namun pada kenyataannya mereka adalah anak-anak. Orangtua dapat melihat kegagalan anak-anak mereka sebagai sebuah kesempatan baginya untuk belajar.


Faber mengatakan, orangtua bisa mencari solusi bersama anak-anak, menjadikan kegagalan sebagai kesempatan untuk mendidik anak-anak mereka. Dia menyarankan tunggu saat emosi mereda baru ceritakan tentang ketentuan yang dilanggar anak-anak, kemudian biarkan anak-anak memilih bagaimana cara agar tidak terjadi kesalahan lagi. Dengan meminta anak-anak untuk mengajukan solusi dapat mendidik mereka menguasai teknik memecahkan masalah.


Menurut penulis Barnhill sebagaimana ulasan artikel tersebut di atas, bahwa permintaan maaf seusai melampiaskan emosi dapat membantu memperbaiki hubungan antara orangtua dan anak. suatu ketika, Barnhill pernah manarik putrinya yang berusia belasan tahun itu ke pojok, kemudian ia minta maaf atas emosi yang pernah dilampiaskannya itu. Putrinya yang bernama Kristen Daughan sekarang berusia 25 tahun, dan sudah menikah, ketika membayangkan penyesalan ibunya kala itu, tak terasa air matanya pun menetes. Hal itu menujukkan bahwa "ibunya tercinta peduli dengan perasaannya".


Sumber : Erabaru.net

0 Response to "Dampak Negatif Emosi Orangtua Terhadap Psikologi Anak"

Post a Comment