Kisah Kesederhanaan 5 Menteri RI di Masa Lalu

Mendapatkan sebuah jabatan bukan berarti memanfaatkan sebuah keadaan. Sudah menjadi rahasia umum Pejabat di negara kita yang sekarang memiliki pola hidup yang serba mewah. Menyandang status sebagai orang penting dalam pemerintahan, para pejabat di negara kita selalu selalu dimanjakan dengan segala fasilitas yang sangat menggiurkan..

Sangat berbeda sekali dengan pejabat-pejabat tinggi yang ada di masa lalu, dimana Indonesia baru berdiri pejabat-pejabat ini menolak semua fasilitas mewah yang diberikan negara kepadanya. Mereka lebih memilih hidup sederhana dalam menjalankan tugasnya membangun sebuah negara yang sejahtera.

Dan melalui kesederhanaan tersebut pula lah para pejabat tinggi Indonesia di masa lalu dianggap sebagai pahlawan negara. Dengan keadaan yang serba sederhana para pejabat ini berhasil membangun Indonesia yang mulai dikenal dunia. Kini namanya menjadi sosok yang di rindukan banyak orang.

Berikut AnakRegular informasikan : 7 Menteri negara Indonesia yang Begitu sederhana dalam menjalankan tugasnya :

Hoegeng Iman Santosa

Hoegeng Iman Santosa adalah Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang juga sempat menjabat sebagai Menteri Iuran Negara (1965), dan menjadi Menteri Sekretaris Kabinet Inti (1966). Seperti yang tertulis dalam sebuah buku berjudul 'Hoegeng:

Polisi dan Menteri Teladan', Hoegeng ternyata pernah menolak pemberian mobil dinas dari pemerintah saat masih menjabat sebagai Menteri Sekretaris Presidium Kabinet. Padahal kala itu Hoegeng mendapat dua mobil dinas untuk bekerja dan satu lagi untuk keluarganya.

Selain itu, Hoegeng rupanya juga ditawari mobil jenis Holden keluaran terbaru tahun 1965 untuk keluarganya. Namun apa daya dia tetap menolak pemberian itu dengan alasan sederhana. Hoegeng mengaku masih mempunyai mobil dinas Jeep Willis dari kepolisian.

Namun seiring waktu berjalan, Hoegeng mau tak mau harus mengambil mobil dinas itu karena sudah menjadi peraturan negara. Dia pun menitipkan mobil itu kepada Soedharto Martopoespito, asisten/sekretaris kesayangannya,dengan alasan garasi rumahnya tak cukup, dan akan memakainya jika suatu ketika diperlukan.

Mohammad Natsir

Jika pejabat lain sibuk memperkaya diri, maka Mohammad Natsir adalah pengecualian. Natsir sederhana dan teguh. Sosoknya menjadi teladan sepanjang zaman. Natsir menjabat menteri penerangan tahun 1946 dan perdana menteri Indonesia tahun 1950-1951.

Dengan dua jabatan mentereng itu, seharusnya Natsir bisa hidup mewah. Tapi hidupnya jauh dari kaya. Saat itu Natsir hanya memiliki sebuah mobil De Soto yang sudah tua. Mobil itu susah payah dibelinya dengan menabung bertahun-tahun.

Dalam 'Seri Buku Tempo, Natsir, politik santun di antara dua rezim' dikisahkan suatu hari ada seorang tamu yang datang ke rumah Natsir. Tamu itu berniat memberikan sebuah mobil Chevrolet Impala. Pada tahun 1956 mungkin Chevrolet Impala itu sekelas Toyota Royal Saloon yang biasa digunakan pejabat RI saat ini.

Anak-anak Natsir yang menguping pembicaraan tamu dan ayah mereka, sangat gembira. Terbayang betapa nikmatnya mengendarai Chevrolet Impala yang besar dan mewah itu. Tapi harapan mereka buyar. Natsir dengan halus menolak pemberian itu. Lemaslah mereka. "Mobil itu bukan hak kita. Lagi pula yang ada masih cukup," ujar Natsir menghibur anak-anaknya.

Bukan hanya mobil, keluarga Natsir pun kesulitan membeli rumah. Saat menjadi menteri bertahun-tahun mereka harus menumpang hidup di paviliun sahabat Natsir, Prawoto Mangkusaswito, di kampung Bali, Tanah Abang.

Ketika pemerintah RI pindah ke Yogyakarta, Nasir menumpang di paviliun milik keluarga Agus Salim. Baru tahun 1946 akhir, pemerintah kemudian memberikan rumah dinas untuk Natsir. Inilah untuk pertama kalinya keluarga Natsir tidak perlu menumpang lagi. Rumah itu berada di Jl Jawa, Jakarta Pusat.

Kesederhanaan Natsir tercermin dalam berbagai hal. Kemeja lusuhnya yang cuma dua helai, jasnya yang bertambal dan sikapnya yang santun. Para pegawai kementerian penerangan pernah urunan membelikan Natsir kemeja baru. Hal itu dilakukan agar Natsir tampak pantas sebagai menteri. Natsir memang teladan menteri yang langka.

Bung Hatta

Kisah tentang Bung Hatta dan mobil dinas nya ini diceritakan oleh pengusaha Hasjim Ning, yang juga merupakan keponakan Bung Hatta, dalam otobiografinya karangan AA Navis.

Pada suatu hari, Bung Hatta yang pada saat itu menjabat sebagai perdana menteri kangen dengan ibundanya yang sudah lama tidak ditemui. Hasjim Ning diminta Bung Hatta untuk menjemput ibundanya, Ibu Saleha atau dipanggil Hasjim dengan sebutan Mak Tuo ke Sumedang, Jawa Barat.

Dalam pikiran Hasjim Ning, seharusnya Bung Hatta sebagai anak yang datang menjemput ibunya. Sebagai perdana menteri, hal itu akan baik bagi pamor Bung Hatta. Terutama apabila dalam kunjungan turut disertakan para wartawan.

Dalam pikiran Hasjim Ning juga, Ibu Saleha akan sangat bahagia apabila mendapat kunjungan dari anaknya yang menjabat perdana menteri. Namun, Hasjim tidak bisa menyampaikan pikirannya itu kepada Bung Hatta. "Sebab aku maklum, apabila Bung Hatta telah berkata, kata-katanya itu sudah ia pikirkan dengan seksama. Maka ia tidak akan mengubahnya," demikian Hasjim Ning.

Sebagai gantinya Hasjim mengusulkan agar Mak Tuo dijemput dengan mobil Bung Hatta sendiri yaitu sebuah mobil dinas yang biasa digunakan oleh Bung Hatta. Maksud Hasjim, biar Mak Tuo senang dan bangga.

Apa jawaban Bung Hatta? "Tidak bisa. Pakai saja mobil Hasjim," kata Bung Hatta. Menurut Hasjim, apa salahnya ibunda seorang perdana menteri naik mobil anak kandungnya? Siapa tidak akan setuju?

Rakyat juga akan menerima dengan wajar karena menghormati pemimpinnya. Alasan Bung Hatta menunjukkan betapa bersih dan jujur jiwanya. "Mobil itu bukan kepunyaanku. Mobil itu milik negara," kata Bung Hatta.

Begitulah Bung Hatta, sosok yang selalu merasa bersalah jika menyalahgunakan wewenang dan fasilitas negara yang diberikan kepadanya. Dia tidak mau fasilitas negara digunakan untuk kepentingan pribadi.

Mari berpikir, adakah pejabat kita sekarang seperti Bung Hatta? Yang sering kita temui adalah tipikal pejabat yang minta fasilitas paling eksklusif untuk keluarga dan kerabatnya. Mereka melakukannya tanpa rasa malu!

H. Agus Salim

Kisah Haru Kesederhanaan 5 Menteri Indonesia di Masa Lalu

Beliau terlahir dengan nama Mashudul Haq yang artinya pembela kebenaran. Dalam pemerintahan RI, dia beberapa kali duduk dalam kabinet, sebagai menteri muda luar negeri Kabinet Sjahrir II (1946), dan kabinet Sjahrir III (1947), menteri luar negeri kabinet Amir (1947), menteri luar negeri kabinet Hatta (1948-1949).

Menurut catatan harian Prof Schermerhorn, pemimpin delegasi Belanda dalam perundingan Linggajati, Agus Salim adalah orang yang sangat pandai. Beliau mampu bicara dan menulis dengan sempurna sedikitnya dalam sembilan bahasa. Hanya satu hal yang menjadi "kelemahan" dari Haji Agus Salim, yaitu beliau hidup melarat.

Menurut berbagai kisah, Haji Agus tidak hanya hidup dengan sederhana, bahkan mendekati miskin. Keluarga Haji Agus Salim pernah tinggal di Gang Lontar Satu di Jakarta. Kalau menuju ke Gang Lontar Satu, harus masuk dulu ke Gang Kernolong, kemudian masuk lagi ke gang kecil.

Sungguh sesuatu yang sulit dibayangkan jika ada pejabat yang sudi tinggal di tempat yang terletak jauh didalam gang. Beliau tercatat tak pernah tertarik untuk berpindah ke rumah yang lebih mewah.

Untuk mengurangi kejenuhan, setiap enam bulan sekali dia punya kebiasaan, mengubah letak meja kursi, lemari sampai tempat tidur. Kadang-kadang kamar makan di tukarnya dengan kamar tidur.

Haji Agus Salim berpendapat dengan berbuat demikian, dia mengubah lingkungan, yang manusia sewaktu-waktu perlukan tanpa pindah tempat atau rumah. Apalagi pergi istirahat ke lain kota atau negeri. Tidak ada dalam pikiran Haji Agus Salim, punya vila seperti para pejabat sekarang.

Mendengar cerita tentang Haji Agus Salim itu, tidakkah para pejabat yang minta naik gaji malu. Haji Agus Salim, salah satu pendiri republik ini, betul-betul menerapkan istilah yang disampaikan Kasman Singodimedjo saat bertamu ke rumahnya, leiden is lijden, memimpin itu menderita. Artinya, memimpin itu tidak untuk foya-foya.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX

Cerita mngenai kesederhanaan hidup Sri Sultan Hamengku Buwono IX disampaikan oleh Sri Sultan HB X saat melakukan orasi budaya dalam acara Pengetan Panghargyan Satu Abad Sri Sultan HB IX di Pagelaran, Alun-alun Selatan, Kompleks Kraton, Yogyakarta.

"Kesederhanaannya tercermin saat beliau menonton sepakbola seorang wartawan melihat di kaki beliau terpasang kaos kaki berlubang dan longgar. Sampai-sampai untuk menahan melorotnya kaos kaki digunakan gelang karet untuk mengikatnya," kata Sri Sultan IX.

Selain kesederhanaannya, Sri Sultan HB IX juga dikenal tidak mementingkan dirinya sendiri dan keluarganya. Keluarga baginya tidak terlalu dipentingkan beliau. Beliau mampu berkorban untuk orang lain. Sikap Sri Sultan HB IX walaupun sering bergaul dengan bangsa asing Belanda tidak pernah menganggap dirinya sebagai bangsawan.

"Ini yang tidak dikehendaki Sultan HB VIII maka dititipkan Dorojatun (nama kecil Sri Sultan HB IX) pada keluarga Belanda. Pendidikan seperti itulah yang harus bisa kita teladani.

Sampai pada akhirnya beliau memegang pimpinan ini yang sangat dikagumi karena karakternya masih sama dengan famili yang lain. Hidup sederhana, mampu menjadi contoh, hidup jujur sebagai seorang kesatria," ungkap KRM Maswito, keponakan almarhum Sri Sultan HB IX.

Selain itu, sikap Pancasilais dan demokratis juga tercermin saat Sri Sultan memimpin rapat dan dalam kesehariannya.

"Apabila bersikap selalu demokratis. Sultan itu kalau memimpin rapat semuanya diajak bicara kemudian diberi kesempatan mengemukakan pendapat. Baru yang terakhir dia mengambil kesimpulan.

Kalau saya mempunyai pendapat begini. Gimana sebaiknya? Ini sebetulnya seorang pemimpin yang kayak begitu yang diharapkan bangsanya. Jadi begini merupakan sikap Pancasilais. Ini juga mengagumkan itulah yang dipraktikkan beliau sehari hari," tegasnya.

RM Maswito menjelaskan terbentuknya karakter Sri Sultan HB IX berkat pendidikan. Doktrin dan arahan dari ayahnya Sri Sultan HB VIII kepadanya menjadi rahasia umum rakyat Yogyakarta.

"Ini sebetulnya hasil pendidikan itu dari Sultan yang ke VIII. Banyak orang tidak tahu bahwa kuncinya ada di situ. Dikira Sultan VIII bergandengan dengan Belanda akan lebih mementingkan dan lebih dari Belanda.

Ini mesti lebih Belanda dari Belanda. Maka pada satu saat waktu terjadi tarik ulur kontrak politik dengan Belanda dia sampai berucap: 'andaikata ayahandamu masih ada tidak akan terjadi kayak begini'," ujarnya.

"Sultan IX kemudian menjawab 'oh berarti Anda kalau demikian anda selama ini tidak mengerti apa yang sesungguhnya maksud dari ayah saya itu'. Mereka terkaget-kaget juga mereka tidak menduga jawaban itu," katanya.

Sultan jauh hari sebelum berangkat untuk sekolah ke Belanda sudah diberi penjelasan oleh ayahnya bahwa Belanda di negaranya sana berbeda dengan Belanda yang di sini yang menjajah di Indonesia.

"Kamu akan hidup bersama mereka cukup lama nanti. Tetapi pesan saya jangan sekali-kali kamu kepincut atau malah menikah dengan Belanda. Pesan ini sangat kuat disampaikan ayah Sultan IX sebab bisa diombang-ambingkan politik Belanda.

Nah itu juga salah satu pendidikan dari Sultan VIII yang sudah bertahun-tahun pisah dari keluarga," ucapnya menirukan cerita ayahnya saat itu.

Selain itu, doktrin, budaya dan pendidikan jaman itu Sultan menganggap bahwa para bangsawan dekat dengan ibunya. Bahkan ibunya menjadi sesembahan dan disembah-sembah hal ini tidak dikehendaki Sultan HB IX seperti itu.

"Karena demokratisnya beliau karena pendidikan yang cukup lama bergaul lama dengan Belanda. Yang itu tidak disadari dan diduga oleh Belanda kok bisa Sultan menjadi prorepublik. Ini kekaguman seperti saya saya tahu secara mendalam karena bapak saya GMRT Karto atau GBPH Prabuningrat menjadi pendamping Sri Sultan IX waktu disekolahkan ayahandanya Sultan HB VIII di negeri Belanda Tahun 1930," tuturnya.

Ayahnya memang khusus diberikan tugas oleh Sri Sultan VIII untuk mendampingi almarhum Sri Sultan IX selama bersekolah di Belanda.

"Jadi saya dapatkan semua cerita itu banyak terutama dari ayah saya. Termasuk bagaimana cara melayani atau meladeni Sultan itu. Ini pesan dari ayah saya, 'begini, kalau kamu melayani Sultan maka pertama jangan sekali-kali ingin mendapatkan keuntungan materi'," ucapnya.

"Kedua, apabila memberikan konsep-konsep atau minta pertimbangan jangan hanya mengatakan 'monggo dawuh dalem' tapi berikan beliau alternatif banyak. Kemudian beliau akan memilih dan akan menambahkan wawasan," imbuhnya.

"Beliau tidak suka jika menghadapi orang yang nuwun inggih. Biasanya khan orang senang mendikte tetapi beliau tidak," pungkas RM Maswito.

Apa yang kita dapatkan :

Sungguh melihat apa yang dilakukan menteri di masa lalu lebih mementingkan kepentingan rakyat dari pada kepentingan pribadi. Mungkin bisa juga sebagai rasa terimakasih serta tanggung jawab diri kepada negara.

Karena dulu dan sekarang beda. Dulu pejabat dipilih langsung oleh negara tanpa memikirkan apa yang dimiliki pejabat tersebut, Namun kini untuk menjadi seorang pejabat diperlukan modal yang tak sedikit.

Para calon pejabat tidak dipilih oleh negara, melainkan mendaftarkan diri kepada negara. Dengan begitu bukan rahasia lagi, jika para calon pejabat mengahabiskan banyak uang untuk menempati kursi di pemerintahan.

Pejabat sekarang bekerja bukan untuk kepentingan negara, melainkan bekerja untuk kepentingan priba. Jabatan digunakan untuk memperkaya diri dan keluarga.

Berbeda dengan dahulu, ketika negara datang menawarkan mereka menolak semua fasilitas, dan bekerja sepenuh hati membangun negara, menjadi negara yang sejahtera.

Tak heran, dari banyak yang merindukan sosok sosok menteri masa lalu yang bekerja berdasar hati nurani dan kepentingan negara.

Sumber : anakregular.blogspot.com

0 Response to "Kisah Kesederhanaan 5 Menteri RI di Masa Lalu"

Post a Comment