Perspektif Tidak Kejahatan Dilihat Dari Neuroscience “Otak “

Otak mengalami perubahan peradaban, dari manusia kera ke spesies homo sapien dan selanjutnya terjadi evolusi besar-besaran dalam otak manusia sebagaimana juga terjadi evolusi kejahatan yang dilakukan oleh manusia. Otak dipandang bukan sebagai sumber kejahatan, namun beberapa riset menunjukkan para pelaku kejahatan yang diperiksa lebih lanjut dengan alat-alat dan teknik pemeriksaan kedokteran seperti misalnya MRI, memiliki beberapa bagian otak yang berbeda dan mengalami kelainan fungsi dari manusia normal pada umumnya. Beberapa hasil riset penelitian tentang otak kriminal:

1. Pada otak kriminal ada beberapa bagian yang cacat (tidak sempurna)
2. Ada yang berkaitan dengan tumor otak (contoh: Astrocytoma yang ditemukan pada pelaku kejahatan pembunuhan serial)
3. Kadar serotonin (hormon pengendali rasa senang) dan dopamine pelaku kriminal berbeda dari manusia pada umumnya.
4. Sistem pengenal emosi wajah tidak berfungsi dengan baik sehingga tidak bisa mengenali emosi dengan baik (contoh: Psikopat ditemukan tidak bisa mengenali emosi pada wajah dengan baik karena mengalami kelainan pada mirror neuron).
5. Sistem otak yang mengenali rasa takut tidak bekerja dengan baik.
6. Penelitian James Fallon: otak pembunuh serial ditemukan memiliki warrior gen yang dikoding untuk monoamine oxide yang berkaitan dengan serotonin. Ditemukan bahwa gen ini rusak pada pelaku kejahatan sehingga kadar serotonin tidak ada .

Temuan-temuan di atas bukan berarti memberikan kesimpulan bahwa otak bisa menjadi prediktor perilaku kejahatan. Sesungguhnya insight yang didapat adalah bagaimana pelaku melakukan kejahatan karena menderita gangguan fisik, atau dengan kata lain pada struktur fisiknya ada yang berbeda dari orang normal pada umumnya. Ini yang mendasari mengapa pengecekan fisik pun penting untuk menambah penilaian saat melakukan criminal profiling, agar pelaku kejahatan dilihat secara keseluruhan baik dari aspek fisik maupun psikis.

Berdasarkan paparan materi-materi yang telah penulis rangkum, didapatkan beberapa kesimpulan. Kesimpulan pertama adalah bahwa untuk memahami perilaku kejahatan perlu beberapa sub capaian pemahaman mulai dari segi hukum, segi psikologi, juga dari segi medis. Sesuai dengan fungsinya, psikolog forensik akan membantu saat proses penyidikan berlangsung oleh penegak hukum agar tidak ada kesalahan saat pemberian vonis hukuman dan agar tetap memandang pelaku kejahatan sebagai manusia seutuhnya selama proses hukum berlangsung. Seperti dijelaskan pada bagian I artikel ini, psikolog forensik setidaknya akan terlibat saat melakukan criminal profiling.

Namun terkadang penegak hukum melakukan proses criminal profiling ini sendiri saat penyidikan berlangsung sehingga tidak jarang ada beberapa kasus yang disimpulkan secara kurang menyeluruh dan hanya berpatokan pada bukti tanpa melihat sudut pandang pelaku. Padahal, meski pelaku bersalah, tetap harus ada pendalaman dari sudut pandang pelaku saat penyelidikan agar tidak terjadi false confession (salah mengakui) dimana fenomena ini bisa terjadi karena terduga pelaku kejahatan mengalami stres saat menjalani prosesi penyidikan yang akan berdampak pada putusan pengadilan.

Kesimpulan kedua, setiap tingkah laku kejahatan yang muncul mungkin saja diakibatkan oleh kondisi fisik pelaku yang mengalami abnormalitas, sebagaimana dijelaskan melalui perspektif neuroscience berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan. Fungsi mengetahui aspek fisik pelaku, apakah ada abnormalitas atau tidak, adalah untuk memberikan penyembuhan bagi pelaku, bukan hanya sekedar memberikan pidana.

Kesimpulan terahir adalah bahwa dalam menangani suatu kasus kejahatan, setiap ranah memiliki perannya masing-masing. Penegak hukum sebagai pemangku aturan, psikolog sebagai parameter pemahaman tingkah laku secara menyeluruh, dan ahli kedokteran sebagai pemangku gejala fisik dimana ketiganya diperlukan untuk mencapai suatu pemahaman menyeluruh akan kasus kejahatan dalam mengambil kesimpulan dan menjatuhkan putusan bagi pelaku dan / atau bagi korban, serta untuk menetapkan apa penggolongan perilaku kejahatan yang dilakukan.

“Perspektif kejahatan dari Neuroscience”
Pembicara: Dr. dr. Taufik Pasiak, M.Pd., M.Kes (Sekjend Indonesian Neuroscience)


Penulis  : Jhaihan Farah Nabila (6012210040)
Editor    : Inke R.Amanda (Kemahasiswaan F.Psi UP)

Sumber :
- Seminar Criminal Minds Psychology and Neuroscience Perspective: Revealing Criminal Profile as tools, yang dilaksanakan oleh Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Banten

Referensi tambahan :
- Holmes, R. M., & Holmes, S. T. (2008). Profiling Violent Crimes: An Investigative Tool (4 ed.). Thousand Oaks: Sage Publications, Inc.
- Wikipedia. (2013). Psikologi Forensik. http://id.wikipedia.org/wiki/Psikologi_forensik Diakses pada tanggal 30 September 2014.

Sumber Artikel : psikologi.univpancasila.ac.id

0 Response to "Perspektif Tidak Kejahatan Dilihat Dari Neuroscience “Otak “"

Post a Comment