Kebanyakan orangtua dari remaja pernah berteriak atau berkata kasar kepada anaknya. Orangtua cenderung berteriak sebagai upaya terakhir agar anak remajanya mau melaksanakan perintah atau mendengar nasihatnya. Namun, menurut studi, teriakan kemarahan dan kalimat kasar kepada remaja cenderung menjadi bumerang. Teriakan hanya akan memperparah tingkah remaja.
Dalam studi yang dilangsungkan terhadap ratusan orangtua anak berusia 13 tahun di Filadelfia, Amerika Serikat itu para peneliti menanyakan frekuensi berteriak, memaki, atau melabeli anak dengan kata-kata seperti "bodoh" atau "pemalas". Diketahui, banyak dari 900 orangtua pernah menggunakan hukuman berupa kata-kata kasar kepada anaknya. Sebanyak 45% ibu mengaku pernah melakukannya, dan 42% ayah mengaku pernah melakukannya.
Ketika dibandingkan dengan tingkah anak, anak usia 13 tahun yang sering dimarahi dengan kata-kata kasar cenderung bertingkah nakal dan mengalami masalah serius. Anak-anak yang sangat sering dimarahi dengan kalimat-kalimat kasar di usia 13 tahun cenderung menunjukkan tanda-tanda depresi ketika menginjak usia 14 tahun.
Asisten profesor psikologi di University of Pisttsburgh, AS, yang juga pemimpin penelitian ini, Ming-Te Wang, mengatakan, tak peduli seberapa sering dan keras orangtua berteriak, anak remaja tak akan mendengar. Malah hanya memperparah keadaan dan mengakibatkan ketegangan hubungan orangtua-anak.
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Child Development ini memberi saran kepada orangtua. Penting untuk orangtua mengingatkan diri sendiri supaya tetap tenang dalam segala keadaan, terutama saat menghadapi anak yang bertingkah tidak sopan/baik. "Teriakan orangtua tidak akan menghentikan/memperbaiki masalah sikap pada anak. Orangtua perlu menenangkan diri sejenak ketika mengetahui sikap nakal anak, supaya bisa menghadapinya dengan bijak," jelas Wang, sebagaimana dikutip dari Psychology Today, Senin (9/9).
Di studi ini jelas terbukti, anak berusia 13 tahun yang bermasalah dengan sikap cenderung mendapat hukuman berupa teriakan kemarahan orangtua. Namun, studi ini tidak bisa membuktikan bahwa teriakan kemarahan orangtua akan memicu perilaku buruk lain pada abaj, atau sikap bermasalah anak yang mendorong orangtua untuk berteriak.
Hukuman kasar orangtua umumnya satu paket dengan sikap bermasalah anak, dan sulit untuk memisahkan keduanya, jelas Alan Kazdin, direktur Yale Parenting Center. Beberapa orang dewasa, secara genetika, cenderung gampang berteriak dan bertindak kasar, dan hal ini akan menurun ke anaknya, bahkan ketika tidak diasuh langsung oleh orangtuanya itu.
Menurut Kazdin, hukuman verbal atau fisik sangat tidak efektif untuk mengubah sikap seseorang. Sayangnya, tak banyak penelitian yang mengungkap dampak hukuman verbal terhadap seseorang. Studi Wang ini berusaha mengisi kekosongan ini, terutama karena orangtua jarang menghukum fisik anak remajanya.
Hukuman fisik yang agresif diketahui cenderung memicu agresi anaknya, meski ada kontroversi yang mengatakan, hukuman fisik ringan kepada anak kecil masih bisa ditoleransi (contoh: cubit).
Meski demikian, Kazdin mengatakan, mengurangi teriakan anak akan menjadi salah satu cara untuk mengurangi "racun" dalam lingkungan keluarga: mengurangi stres, mengurangi eksposur terhadap kekerasan, dan mengurangi hukuman yang bersifat menyakiti. Kazdin menyarankan orangtua untuk berfokus pada pola mengasuh yang bersifat membangun aktivitas dan rutinitas keluarga.
Ditekankan Kazdin, belum diketahui persis/spesifik dampak buruk dari teriakan hukuman/kemarahan orangtua kepada anak di kemudian hari. Namun, yang pasti, tambahnya, teriakan kemarahan, rentetan ucapan buruk, memukul, dan hukuman kasar lainnya pada anak tidak akan membantu mempersiapkannya menghadapi permasalahan dalam hidup di kemudian hari.
Sementara Wang berpendapat, hubungan orangtua-anak bersifat timbal balik. Dibutuhkan intervensi pada kedua pihak untuk mencari jalan terbaik dalam hal pengasuhan demi menjalankan kehidupan yang lebih bahagia.
Sumber : beritasatu.com
Dalam studi yang dilangsungkan terhadap ratusan orangtua anak berusia 13 tahun di Filadelfia, Amerika Serikat itu para peneliti menanyakan frekuensi berteriak, memaki, atau melabeli anak dengan kata-kata seperti "bodoh" atau "pemalas". Diketahui, banyak dari 900 orangtua pernah menggunakan hukuman berupa kata-kata kasar kepada anaknya. Sebanyak 45% ibu mengaku pernah melakukannya, dan 42% ayah mengaku pernah melakukannya.
Ketika dibandingkan dengan tingkah anak, anak usia 13 tahun yang sering dimarahi dengan kata-kata kasar cenderung bertingkah nakal dan mengalami masalah serius. Anak-anak yang sangat sering dimarahi dengan kalimat-kalimat kasar di usia 13 tahun cenderung menunjukkan tanda-tanda depresi ketika menginjak usia 14 tahun.
Asisten profesor psikologi di University of Pisttsburgh, AS, yang juga pemimpin penelitian ini, Ming-Te Wang, mengatakan, tak peduli seberapa sering dan keras orangtua berteriak, anak remaja tak akan mendengar. Malah hanya memperparah keadaan dan mengakibatkan ketegangan hubungan orangtua-anak.
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Child Development ini memberi saran kepada orangtua. Penting untuk orangtua mengingatkan diri sendiri supaya tetap tenang dalam segala keadaan, terutama saat menghadapi anak yang bertingkah tidak sopan/baik. "Teriakan orangtua tidak akan menghentikan/memperbaiki masalah sikap pada anak. Orangtua perlu menenangkan diri sejenak ketika mengetahui sikap nakal anak, supaya bisa menghadapinya dengan bijak," jelas Wang, sebagaimana dikutip dari Psychology Today, Senin (9/9).
Di studi ini jelas terbukti, anak berusia 13 tahun yang bermasalah dengan sikap cenderung mendapat hukuman berupa teriakan kemarahan orangtua. Namun, studi ini tidak bisa membuktikan bahwa teriakan kemarahan orangtua akan memicu perilaku buruk lain pada abaj, atau sikap bermasalah anak yang mendorong orangtua untuk berteriak.
Hukuman kasar orangtua umumnya satu paket dengan sikap bermasalah anak, dan sulit untuk memisahkan keduanya, jelas Alan Kazdin, direktur Yale Parenting Center. Beberapa orang dewasa, secara genetika, cenderung gampang berteriak dan bertindak kasar, dan hal ini akan menurun ke anaknya, bahkan ketika tidak diasuh langsung oleh orangtuanya itu.
Menurut Kazdin, hukuman verbal atau fisik sangat tidak efektif untuk mengubah sikap seseorang. Sayangnya, tak banyak penelitian yang mengungkap dampak hukuman verbal terhadap seseorang. Studi Wang ini berusaha mengisi kekosongan ini, terutama karena orangtua jarang menghukum fisik anak remajanya.
Hukuman fisik yang agresif diketahui cenderung memicu agresi anaknya, meski ada kontroversi yang mengatakan, hukuman fisik ringan kepada anak kecil masih bisa ditoleransi (contoh: cubit).
Meski demikian, Kazdin mengatakan, mengurangi teriakan anak akan menjadi salah satu cara untuk mengurangi "racun" dalam lingkungan keluarga: mengurangi stres, mengurangi eksposur terhadap kekerasan, dan mengurangi hukuman yang bersifat menyakiti. Kazdin menyarankan orangtua untuk berfokus pada pola mengasuh yang bersifat membangun aktivitas dan rutinitas keluarga.
Ditekankan Kazdin, belum diketahui persis/spesifik dampak buruk dari teriakan hukuman/kemarahan orangtua kepada anak di kemudian hari. Namun, yang pasti, tambahnya, teriakan kemarahan, rentetan ucapan buruk, memukul, dan hukuman kasar lainnya pada anak tidak akan membantu mempersiapkannya menghadapi permasalahan dalam hidup di kemudian hari.
Sementara Wang berpendapat, hubungan orangtua-anak bersifat timbal balik. Dibutuhkan intervensi pada kedua pihak untuk mencari jalan terbaik dalam hal pengasuhan demi menjalankan kehidupan yang lebih bahagia.
Sumber : beritasatu.com
0 Response to "Bahaya Berteriak & Mengucap Kata Kasar Pada Remaja Nakal"
Post a Comment