Ternyata Nilai IPK Tinggi Tidak Menjamin Sukses Dalam Dunia Kerja


Malahan yang muncul adalah tirani baru yang mencengkeram anak buahnya dan memaksakan segala kehendaknya tanpa acuan prinsip yang jelas. Tidak heran apabila yang muncul adalah kefrustrasian karyawan menghadapi ulah para pemimpin yang semau gue, tidak mau tahu dengan urusan karyawan dan lebih parah lagi kesannya hanya memeras keringat karyawan tanpa mau memperhatikan nasibnya.
 
Sejarah telah mencatat bahwa pemimpin-pemimpin besar bukanlah mereka yang duduk santai di belakang meja, angkat jari tinggi-tinggi, tunjuk sana tunjuk sini dan melampiaskan kemarahan apabila hal yang terjadi di luar harapannya. 

Nabi Muhammad yang disebut sebagai pemimpin luar biasa, dia adalah orang yang rendah hati, memiliki moral yang tinggi, selalu santun kepada kawan maupun lawan, selalu belajar dan selalu mengevaluasi diri.

Tapi bila melihat kemunkaran, kelalaian dan sesuatu yang ganjil, dia akan tegas untuk menegur bahkan sampai menghukum. Tapi bentuk ketegasannya tidak dalam kemarahan, tidak dengan mencak-mencak. 

Ia tetap tegas tetapi dibalut dengan kelembutan. Bukankah tali yang kuat adalah tali yang lentur, bukan tali yang kaku?
Pemimpin-pemimpin besar lainnya juga memiliki watak yang sama, tapi bila disederhanakan beberapa ciri pemimpin besar adalah; memiliki kecerdasan emosi, memiliki integritas, selalu belajar menambah ilmu pengetahuan, memiliki pola komunikasi interpersonal yang luwes, rendah hati, memiliki visi jauh ke depan, memiliki prinsip yang kuat dan teguh, mampu mempengaruhi pikiran orang lain, menerima kritikan dan masukan dari siapapun, selalu positif thinking, tidak pernah menyalahkan orang lain, selalu mendidik anak buahnya agar tumbuh menjadi jauh lebih baik dari hari ke hari.
Kecerdasan Emosi
Apa itu kecerdasan emosi? Apakah dalam dunia kerja emosi perlu dibawa? Dari jaman dulu sampai sekarang faktor emosi menjadi bagian dari manusia sangat besar yang dapat menentukan ke mana arah langkah seseorang. IQ memang diperlukan, tapi IQ bukan satu-satunya perkara yang bisa menjamin kesuksesan. 

Contoh sederhana, seseorang yang memiliki IQ tinggi dengan indikator nilai Matematika tinggi, 9 misalnya, nilai statistik tinggi, Bahasa Inggris tinggi, IPK 3,5. Setelah terjun ke dunia kerja apakah nilai yang tinggi tersebut bisa dijadikan modal satu-satunya untuk meningkatkan prestasi perusahaan? Pengalaman membuktikan, mahasiwa yang memiliki nilai tinggi tanpa dibekali dengan kadar emosi yang cukup, mereka gagal dalam dunia kerja. 

Apakah mereka berantem terus dengan bosnya, pindah-pindah kerja dari satu tempat ke tempat yang lain karena tidak cocok dengan teman-temannya dan hal-hal lain yang memungkinkan orang tersebut tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan baru karena merasa dirinya jauh lebih pintar dari yang lain.
Sementara di sisi lain, mereka yang memiliki IPK sedang-sedang saja, tapi luwes dalam bergaul, memahami kebutuhan orang lain, memberikan perhatian kepada teman-temannya yang sedang ada masalah, mereka jauh lebih sukses dan berhasil baik dalam karier maupun dalam mentalnya. Ini perbedaan IQ dengan EQ dapat dilihat secara mencolok dari hasil kerja pikiran mereka. Demikian halnya dengan kepemimpinan.

 Seorang pemimpin yang menggunakan pendekatan kecerdasan emosi (EQ) akan menghasilkan kinerja jauh lebih baik ketimbang pemimpin yang hanya menggunakan pendekatan IQ. 

Coba bedakan, pemimpin yang menggunakan kecerdasan emosi, pola pikirnya dimulai dari melihat karyawan sebagai asset dan bagian yang penting untuk masa depan perusahaan. Apabila karyawan bebas dari masalah, selalu termotivasi, diperhatikan kebutuhan dasarnya, maka mereka dengan sendirinya akan maksimal dalam bekerja.
Keuntungan atau laba pada dasarnya hanya merupakan akibat dari karyawan yang memiliki semangat tinggi, tidak ada masalah pribadi dibawa ke kantor dan mereka terus belajar untuk melihat peluang pasar di depan matanya. 

Jadi, kalau mau untung, kalau mau sukses, peliharalah orang-orang di dalam terlebih dahulu. Mulai dari mutu customer servis agar pelanggan puas, memelihara kualitas produk, membina pelanggan dengan pendekatan tertentu sehingga mereka merasa dekat dengan perusahaan kita. 

Di sini ada beberapa hal yang harus terus menerus diperhatikan mulai dari kondisi karyawan, kualitas produk, memelihara pelanggan dan melakukan komunikasi yang kondusif dengan pelanggan. Satu hal lagi ketika bisnis sudah mulai sangat kompetitif, harus selalu kreatif menciptakan produk baru agar pelanggan tetap mencari produk kita.
Sejauh mana perusahaan memperhatikan karyawan? Lebih spesifik lagi, sejauh mana pemimpin memperlakukan karyawan? Karyawan juga manusia memiliki masalah, keluh kesah dan persoalan hidup sehari-hari. 

Ketika pemimpin tidak mau tahu terhadap persoalan karyawannya, jangan menyesal kalau terjadi turn over yang cukup tinggi di perusahaan tersebut. Pemimpin harus mampu menempatkan diri sesuai dengan situasi yang tepat. 

Kadang bersikap sebagai seorang manager, kadang bersikap sebagai seorang bapak kepada anaknya, kadang bersikap sebagai teman atau sahabat, kadang bersikap sebagai konsultan, kadang bersikap sebagai juru therapis yang mengobati pasiennya. 

Pemimpin tidak bisa bersikap seperti raja yang duduk manis didampingi dayang-dayang yang selalu mengipas-ngipas dirinya, tidak pernah turun ke lapangan, dan titahnya harus dituruti, peduli apakah titahnya itu logis atau tidak, penting atau tidak. “Saya kan raja, jadi anda harus nurut.

” Kepemimpinan model ini sama sekali tidak akan laku di pasaran. Mungkin anak buah menuruti perintahanya, tapi landasannya karena takut dan terpaksa, bukan karena senang melakukannya. Dan sebentar lagi mereka akan keluar dari perusahaan tersebut.

Pemimpin harus mampu mengelola emosi karyawannya. Satu waktu berikan pujian kalau karyawan melakukan berprestasi. Jangan sungkan-sungkan untuk mengatakan “Bagus, anda melakukan tugas secara baik, lanjutkan di masa-masa mendatang.” 


Jangan sampai terjadi, ketika salah didamprat habis-habisan sampai semaput, ketika berprestasi malahan tidak disapa sedikit pun. Ini kan tidak fair memperhatikan anak buah atau karyawan hanya ketika mereka melakukan kesalahan saja. Kalau karyawan melakukan kesalahan, jangan ditegur di tengah-tengah forum yang dilihat banyak orang. 

Tarik ke dalam, bicara empat mata, kalaupun mau mengkritik habis, marah atau apapun, lakukan di sana. Sehingga harga dirinya tetap terjaga. Kalau ditegur dan dimarahi di tengah-tengah karyawan lain, siapapun akan menanggung rasa malu yang sangat besar, sementara mungkin tingkat kesalahannya tidak seimbang dengan tingkat kemarahannya.
Memimpin manusia memang memiliki keunikan-keunikan tersendiri. Terlalu keras dalam memperlakukan karyawan, mereka tidak bisa menerima, terlalu lembut dalam pengertian tidak tegas pun akan tidak berwibawa dan tidak dihargai. Namun selama ini pendekatan kepemimpinan melalui pendekatan emosi jauh lebih efektif karena kita melihat orang dari kacamata yang holistik.

 Ini memang ujian kepemimpinan, banyak orang yang pandai dan berpengalaman di mana-mana, tapi ternyata gagal dalam memimpin manusia di bawah naungannya sendiri atau karyawannya sendiri. 

Sampai di sini apakah kita masih bersikeras untuk memperlakukan karyawan, anak buah atau staf organisasi dengan cara-cara yang kaku, hitam putih? Atau kita berpikir ulang untuk bersikap jauh lebih luwes dalam memperlakukan karyawan.

Ken Blanchard dalam Self Leadership membagi sikap seorang leader ke dalam empat kategori ketika melihat karyawan dan situasi yang berbeda-beda:
  1. Kondisi emergency, pemimpin harus mengarahkan atau memerintah. Misalnya saja, terjadi kebakaran di sebuah tempat, pemimpin yang bersangkutan benar-benar harus memberikan instruksi secara jelas, tegas, bahkan cenderung otoriter, tidak ada usul atau bantahan. Dan sebaliknya anak buah pun harus mengerti kondisi sehingga si pemimpin bersikap demikian. Masa sih dalam situasi yang gawat seperti kebakaran masih ada perdebatan sengit untuk membiarkan kebakaran menjalar atau secepatnya mengatasi kebakaran. Sudah tentu target yang harus dilakukan adalah segera menghentikan kebakaran tadi. 
  2. Melatih. Latihan diberikan kepada karyawan yang memiliki kemampuan sedang dan komitmen rendah. Sehingga dalam kurun waktu tertentu memiliki pengetahuan dan komitmen yang meningkat.
  3. Mendukung. Ini diberlakukan kepada karyawan yang kemampuan tinggi tapi komitmen tidak menentu. Dalam beberapa kasus pemimpin banyak melakukan proses latihan dan mendukung. Sehingga karyawan mendapatkan pengetahuan baru dan langsung dicoba.
  4. Menugaskan atau mendelegasikan kerja. Ini diberikan kepada karyawan yang memiliki kemampuan tinggi dan komitmen yang tinggi pula. Karyawan jenis ini sudah memiliki kesadaran sendiri sekaligus kemampuan untuk mengemban tanggungjawab secara penuh.
Kalau polanya demikian, masih ragukah untuk menerapkan kepemimpinan dengan pendekatan kecerdasan emosi (EQ)? Mungkin perlu dicoba dulu, tapi sebelum dicoba, pemimpin harus memiliki bekal yang utuh tentang kecerdasan emosi, jangan hanya menerapkan sepotong-sepotong. 

Buku-buku Daniel Goleman yang berisi tentang EQ, Ary Ginanjar ESQ dapat menjadi rujukan bagaimana cara memimpin dengan kecerdasan emosi. Semoga di masa mendatang lahir pemimpin-pemimpin baru yang memiliki kepekaan emosi yang jauh lebih tinggi untuk meningkatkan mutu karyawan dan meningkatkan profit perusahaan.

Semoga bermanfaat dan berkah untuk kami dan pembaca

0 Response to "Ternyata Nilai IPK Tinggi Tidak Menjamin Sukses Dalam Dunia Kerja"

Post a Comment