Lebih dari seratus tahun yang lalu, tahun 1905, psikolog berkebangsaan Prancis, Alfred Binet, menyusun suatu test kecerdasan untuk pertama kalinya. Pada awalnya, Binet me-rancang test kecerdasan untuk mengidentifikasi para pelajar yang membutuhkan bantuan khusus, yatu kecerdasan intelektual. Tes kecerdasan ini bukan untuk mencari anak-anak berbakat istimewa seperti yang berlangsung di kemudian hari. Lebih jauh lagi, Binet ber-usaha memastikan bahwa anak-anak yang memiliki persoalan dalam perilakunya, tidak buru-buru dianggap bodoh..
Test yang dikembangkan Binet ini kemudian disusun kembali oleh Lewis Terman, (pro-fesor bidang psikologi-Stanford University). Terman memformulasikan suatu skor nilai yang disebut sebagai IQ (Intelligent Quotient).
Skor itu diperoleh dengan cara membagi umur mental seseorang (yang
didapat dari test kecerdasan Binet) dengan umur sebenarnya atau umur
kronologisnya.
Namun,
sejarah membawa metoda ini menyimpang jauh. Tes IQ telah mempengaruhi
masyarakat dalam memandang potensi individu. IQ dianggap satu-satunya
ukuran kemampuan seseorang dalam menghadapi hidupnya (aspek kecerdasan
sebagai problem-solving capacity). IQ dianggap sebagai satu-satunya atribut kemanusiaan yang paling berharga.
Pandangan ini juga dipengaruhi oleh teori kecerdasan yang dipelopori “sepupu” Charles Darwin, Francis Galton. Akibatnya, hingga pada akhir abad ke-19 diyakini
bahwa orang-orang yang memiliki atribut kecerdasan ini diposisikan pada
jabatan kepemim-pinan atau jabatan strategis lainnya. Ketika itu juga
di Eropa dan US,
berkembang keyakinan bahwa kecerdasan, diwariskan lewat garis
keturunan. Oleh karenanya, orang-orang yang kurang cerdas didorong agar
tidak berketurunan. Sungguh mengerikan!
Ironis!.
Gagasan baik ini telah membatasi kesempatan banyak orang hanya karena
poten-sinya tidak terukur oleh test IQ. Hal ini melahirkan gelombang
gerakan protes dari berbagai kalangan. Gerakan anti-IQ yang paling
signifikan terjadi di Inggris sekitar tahun 1960-an. Dan, pada tahun
1971 US Supreme Court memutuskan untuk menghapuskan penggunaan
test IQ untuk masalah-masalah perekrutan dan kepegawaian, kecuali dalam
kasus-kasus tertentu.
Tak
kurang, Dr. Steve Hallam juga protes. Katanya, pendapat bahwa
kecerdasan manusia bagaikan angka mati dan diwariskan, adalah tidak
tepat. Penelitian Hallam
menunjuk fakta bahwa kecerdasan manusia itu hanya 42% yang dibawa dari
lahir, sementara sisanya, 58% merupakan hasil proses belajar.
Cakupan kecerdasan manusia bukan hanya kecerdasan
nalar, matematis dan logis. Makin banyak pembuktian yang mengarah pada
fakta bahwa kecerdasan manusia itu bermacam-macam. Buktinya, Michael
Jordan dikatakan cerdas selama berhubungan dengan bola basket. Mozart
dikatakan cerdas selama berurusan dengan musik. Mike Tyson dikatakan cerdas selama berhubungan dengan ring tinju. (Dr. Steve Hallam, Creative and leader-ship, Colloquium in Business, 2002).
Yang
perlu ditekankan bukanlah pada betapa test IQ itu kurang efektif dalam
menyeleksi orang, namun pada betapa tes ini telah membentuk konsepsi
diri manusia yang parsial dan reduksionistik. Barangkali akan lain
halnya, jika metoda test kecerdasan IQ ini muncul dalam masyarakat yang mampu memandang potensi manusia secara utuh. Besar kemungkinan gagasan IQ ini akan memberikan kontribusi yang positif.
Meski
respon kritis atas kecerdasan berbasis IQ ini telah muncul sejak awal
kelahirannya, namun baru satu dekade akhir abad ini kita mengenal suatu
rumusan-psikologi populer yang mengemas kontribusi para peneliti
sebelumnya dengan cukup baik, yaitu kecerdasan emosi.
0 Response to "Perkembangan Teori Intelligence Quotient ( IQ )"
Post a Comment