Pembahasan Lengkap Tentang God Spot ( Titik Tuhan )


Danah Zohar-Ian Marshal

Pasutri yang menggeluti bidang fisika, filsafat, dan theology ini merekonstruksi paradig-ma kecerdasan spiritual secara saintifik sehingga menjadi temuan dan kemasan ilmiah. Pasutri ini memperkuat argumennya dengan keberadaan God Spot (Titik Ketuhanan) dalam otak manusia yang merupakan hasil riset ahli syaraf VS Ramachandran dari Universitas California (1997).



Menurut Danah Zohar, kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang bertumpu pada ba-gian dalam diri kita yang berhubungan dengan kearifan diluar ego atau jiwa sadar.

Untuk mengetahui kapasitas spiritual intelligence (SI)  seseorang, Zohar melakukan amatan pada tema-tema berikut:



-Kemampuan memberikan makna yang terinspirasi oleh visi dan nilai dan nilai

-Fleksibilitas dalam adaptasi spontan, kesadaran diri (self-awareness)

-Kemampuan menghadapi dan mengatasi penderitaan,

-Kemampuan mengatasi kenyerian, rasa sakit 

-Keengganan untuk berbuat yang menyebabkan kerugian yang tidak perlu;

-Kecenderungan untuk melihat segala sesuatu secara holistik;

-Pencarian jawaban yang fundamental atas pertanyaan “mengapa” dan “bagaimana?”,

-Kemampuan menjelaskan segala sesuatu yang lebih fundamental dan transendental.

Dan hal-hal yang menjadikan seseorang yang dalam psikologi disebut debagai field independence.  



Menurut Zohar-Marshal, seseorang yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi berpeluang menjadi servant leader. Orang ini sangat responsif dalam menggiring orang lain kearah visi dan nilai yang lebih tinggi, dan memberikan keteladanan menerapkan visi dan nilai tersebut.



“Bisa saja seorang ateis malah memiliki kecerdasan spiritual tinggi. Banyak orang menjadi ateis bukan karena argumentasi rasional tapi karena tingkah laku para pemeluk agama yang mengecewakan mereka. Misalnya, melihat orang-orang beragama yang tidak bisa menghargai perbedaan pendapat, merasa paling benar, dan suka menghakimi orang lain,” kata Zohar. 

“Tidak mempersoalkan Tuhan, tapi berbuat kebaikan kepada orang banyak, adalah ciri orang yang cerdas spiritual juga. Sekarang baru terbukti secara psikologis bahwa banyak menolong orang itu membuat bahagia. Mengapa? Karena dengan begitu orang jadi menemukan misi hidup,” lanjut Zohar yang mengedepankan Got Spot tersebut.. (Danah Zohar, dan Ian Mashall,  Spiritual Intelligence, The Ultimate Intelligence, Bloomsbury Publishing Plc, London, 2000).



Michal Levin

Spiritual bukan religion, bukan syahadat, tetapi perspektif hati, visi dan misi, yang diperoleh lewat meditasi. Dalam bukunya itu Levin mengatakan,  hasil yang diperoleh melalui meditasi adalah menemukan kembali potensi diri, membangunkan kekuatan spiritualitas dan intuisi yang ada di dalam diri kita (the power of intuition).

Kecerdasan spiritual tidak perlu diverifikasi secara saintifik, melainkan diverifikasi secara spiritual, seperti apa adanya spiritual itu sendiri.



Levin menjabarkan kesadaran spiritual pada the highest level of spirituality: yakni penghayatan hidup, penghayatan yang sejati. Ia reflektif dalam hidup. Hidup yang arif dan bijak.  "It is your heart's perspective", tambah Levin, yang sebenarnya sejak awal juga dibenarkan oleh sufi masyhur, Jalaluddin Rumi, bahwa "Mata hati (perspektif) punya kemampuan tujuh puluh kali dalam melihat kebenaran dibanding dua indra penglihatan kita"



Spiritualitas yang built-in dalam sikap hidup, menurut Levin, mencerminkan kombinasi diri kita secara material dan spiritual sekaligus. "It is  the core of spiritual intelligence,"

yang terefleksikan dalam sikap hidup toleran, terbuka, jujur, adil, penuh cinta dan kasih sayang terhadap sesama. Inilah yang ia  sebut the highest level of spiritual intelligence, yang bisa mempertajam sesorang pada tataran a higher wisdom. Kearifan spiritual, yang melampaui seluruh aspek kecerdasan.  (Spiritual Intelligence,  Membangkitkan Kekuatan Spiritualitas dan Intuisi Anda (terjemahan terbitan Gramedia 2005)



Jalaluddin Rakhmat:

Kecerdasan spiritual adalah kemampuan orang untuk memberi makna dalam kehidupan. Kecerdasan spiritual sebagai kemampuan untuk tetap bahagia dalam situasi apapun tanpa tergantung kepada situasinya. . Kalau meminjam istilahnya Tony Buzan, pakar tentang otak manusia dari Amerika, kemampuan seseorang untuk berbahagia dalam segala situasi berhubungan dengan kecerdasan spiritualnya.



Di Indonesia kecerdasan spiritual lebih sering diartikan rajin salat, rajin beribadah, rajin ke masjid, pokoknya yang menyangkut agama. Jadi kecerdasan spiritual dipahami secara keliru. (Prof. DR. Jalaluddin Rakhmat, MSc; Insan Kamil: Manusia Seimbang, Sebuah Pengantar, Penerbit Lentera, Jakarta, 1993).





Djamaludin Ancok

Kecerdasan Spiritual adalah modal memaknai hidup. Kebermaknaan hidup adalah sebuah motivasi yang kuat untuk melakukan kegiatan yang berguna. Hidup yang berguna adalah hidup yang terus memberi makna pada diri sendiri dan orang lain. Modal spiritual ini juga memberikan perasaan hidup yang komplet (wholeness). Inilah yang disebut  Abra-ham Maslow dengan peak experience (pengalaman puncak); perasaan yang muncul karena kedekatan dengan Sang Pencipta.(DR. Djamaludin Ancok, Ph.D, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada)



Tony Buzan

Ciri-ciri orang yang cerdas spiritual itu di antaranya adalah senang berbuat baik, senang menolong orang lain, telah menemukan tujuan hidupnya, jadi merasa rnemikul sebuah misi yang mulia kemudian merasa terhubung dengan sumber kekuatan di alam semesta (Tuhan atau apapun yang diyakini, kekuatan alam semesta misalnya), dan punya sense of humor yang baik.



Dwi Suryanto

Spiritualitas berarti percaya kepada sesuatu di luar (beyond) kita yang mampu mengatur segalanya, dan kita tidak berdaya untuk mencegah-Nya berbuat sesuatu. .Di sinilah sesungguhnya terjadinya titik temu antara dunia sains dan agama, samasama menuju Tu-han. Inilah esensi spiritual (Dr. Dwi Suryanto, Ph.D .www.pemimpin-unggul.com)



Muhammad Zuhri,  psikolog

SQ adalah kecerdasan manusia yang digunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Asumsinya adalah jika seseorang hubungan dengan Tuhannya baik maka bisa dipastikan hubungan dengan sesama manusiapun akan baik pula.



Khavari

 “Kecerdasan spiritual bisa kita maknai sebagai garis kontinum: dari kecerdasan, menuju kearifan, lalu meraih kebahagiaan, spiritual happiness," katanya.

Kebahagiaan, kata Prof. Khavari, tidak bisa lagi melulu diukur dari faktor uang, kesuksesan, kepuasan kerja, kehidupan seks, dan seterusnya, melainkan justru diukur dari hal yang paling esensial dalam diri kita. Sebagai makhluk spiritual atau homo religius  kebahagiaan lebih proporsional diletakkan dalam wilayah spiritual.

Kebahagiaan macam itulah yang kemudian oleh Khavari disebut sebagai inner happiness. Yakni kebahagiaan batin-spiritual, yang bukan lagi terletak dari sisi luar, melainkan justru dari sisi dalam (inside). "The key to happiness", kata Prof Khavari, "is having a spiritual perspective on life, by seing a wisdom"



Prof Khavari menggunakan kecerdasan spiritual sebagai panduan untuk meraih kebaha-giaan spiritual, guna menghadapi berbagai realitas. Realitas ketidakbahagiaan hidup itu hadir juga di tengah-tengah kita, seperti marah, frustrasi, berbuat salah, stres, dan kegelisahan hidup. Kemudian Prof Khavari menyajikan resepnya, terutama melalui latihan. Misalnya, kegelisahan yang jadi sumber ketidakbahagiaan hidup, ditangani dengan resep prayers. (Prof Khalil A Khavari, Spiritual Intelligence, A Practical Guide to Personal Happiness, Canada, 2000),



Ary Ginanjar

Ary Ginajar menawarkan ESQ model untuk membangun dan mengasah kecerdasan spritual dan emosional. “Dengan menerapkan ESQ akan lahir manusia digital yang akan menjadi manusia yang sukses dunia dan akhirat. Aktivitas manusia harus dibimbing oleh lima langkah yang bersumber dari 5 Rukun Islam dan 6 Rukun Iman,” katanya..



Manusia yang mengandalkan IQ dan EQ, menurut Ary Ginanjar, cenderung berorientasi pada materi, keinginan untuk menjadi orang terkenal, dan mencari jabatan. keduanya tertuju pada sikap materialistis dan antroposentris. “Kita cenderung mengejar kemewa-han, uang, pesta pora, dan kesuksesan dalam berbagai usaha, tetapi lupa memaknai se-tiap hasil usaha dan perilaku kita” katanya lagi sambil mengritik IQ yang sudah dihentikan penggunaannya sejak tahun 1971 .



Ari Ginanjar juga berpendapat, “Para orientalis barat saat ini sedang sibuk-sibuknya menggali konsep EQ dan SQ. Kita seperti  membeo dan mengekor para  orientalis barat tersebut, sibuk mencari hakekat dari EQ dan SQ yang diributkan itu. Padahal,  EQ itu sebenarnya akhlak, dan SQ adalam iman”.

Oleh karena itu, Ari –yang terkesan tak ingin membeo- menawarkan model ESQ  (Emotion Spiritual Quotient),  yaitu  kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan hidup atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan lainnya. Kecerdasan yang bersumber dari God Spot, ini tidak hanya untuk mengetahui nilai-nilai yang ada, tetapi juga untuk secara kreatif menemukan nilai baru.



Yadi Purwanto

“Ari Ginanjar telah  meneruskan pandangan Danah Zohar, bahwa aspek nilai dan makna, sebagai unsur penting kecerdasan spiritual. Spiritual Intelligence adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan masalah makna dan nilai. Padahal, kecerdasan itu sendiri  menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya. Keduanya menjelaskan dahsyatnya kekuatan spiritual, meskipun ahirnya mereka terjebak oleh paralogismenya, yakni kata quotient”  kata Drs. Yadi Purwanto, MM (dosen Fakultas Psikologi UMS),



M. Lawi Yusuf

Tentang  paralogi quotient,  Yusuf, mengatakan bahwa Goleman  -sebagai penggagas pertama Emotional Intelligence- secara konsisten tidak menggunakan istilah EQ,  karena tidak ada faktor  yang dapat memberikan hasil bagi bilangan.:  “Berbeda dengan tes IQ yang sudah dikenal, sampai sekarang belum ada tes  yang menghasilkan  nilai kecerdasan emosional  dan barangkali tak pernah akan ada tes semacam itu”. Kata Yusuf mengutip karya Goleman, Emotional Intelligence.

“Penggunaan istilah  Emotional Spiritual Quotient (ESQ) tanpa ada rumus bilangan pembilang dan pembagi terasa dipaksakan dan tidak realistis, menyalahi kaidah-kaidah ilmiah. Mungkin penggunaan istilah EQ dan SQ tersebut hanya secara otomatis, tak sadar, karena terbiasa dengan istilah IQ” kata Yusuf. Mungkin, juga tidak akan pernah ada standarisasi quotient untuk kecerdasan spiritual yang popular dengan Spiritual  Quotient itu..



“Penulis ESQ boleh saja membuat istilah spiritual dengan definisi operasional menurut 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam.  Namun, di negara barat, tetap saja spiritual tidak sama persis dengan agama. Di Indonesia pun dibedakan antara penganut agama dengan  penganut aliran kepercayaan. Istilah spiritual bisa diartikan sebagai aliran kepercayaan, aliran kebatinan, atau aliran meditasi. Jadi makna istilah  spiritual tidak  identik dengan religion”. katanya. “Dalam Psikiatri,  pengalaman spiritual merupakan suatu kesadaran transendental, suatu keadaan kesadaran yang tak biasa yang menimbulkan isi kesadaran yang tidak biasa pula, yang diperoleh melalui berbagai teknik seperti meditasi, yoga atau Zen”, Tambah Yusuf,  Psikiater, Staf Pengajar Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unsri





Erbe Sentanu,

“Buat saya cerdas secara spiritual harus dibuktikan dengan berada di zona ikhlas yang mensyaratkan tiga hal, yaitu gelornbang otaknya harus lebih banyak dalam posisi Alfa dan Tetha, kemudian sistem perkabelan otaknya (neuropeptide) selalu serasi dan memunculkan perasaan tertentu kepada Tuhan, lalu tubuhnya harus cukup mengandung hormon serotonin, endorfin, dan melantonin dalam komposisi yang pas. Dalam kondisi itu, maka dengan sendirinya ciri-ciri kecerdasan spiritual akan muncul. Tanpa ketiga syarat itu, agak sulit dipercaya”(Katahati Institut, www.katahati.org).



Dengan mengacu pada psikolanalitik serta data-data terapi dan observasi,  spiritual intelligence makin dimantapkan oleh para ahli yang memiliki wawasan iptek mutakhir. Temuan-temuan teknologi komputasi tentang penampang otak (brain) serta mekanisme kerjanya makin menambah bukti-bukti yang menguatkan teori-terori tentang Spiritual Intelligence.



Demikianlah, meski secara esensial tidak terdapat sebuah terobosan ilmiah yang betul-betul baru dalam gagasan-gagasan mereka. Namun, dengan berbagai kekurangannya,  para pakar ini telah berhasil mensintesakan, mengemas, dan mempopulerkan, memformulasikan sekian banyak studi dan riset terbaru  untuk menunjukkan bahwa aspek kecerdasan manusia ternyata lebih luas dari apa yang semula biasa kita maknai dengan sekadar kecerdasan.



Banyak pengetahuan baru yang didapat, tetapi gambaran yang dihasilkan masih dirasa belum tuntas. Sejarah telah memberi tahu kita bahwa temuan baru disusul oleh yang lebih baru, yang lama mengoreksi yang baru, sang kakak menolak kehadiran sang adik, dan terus saja terjadi fluktuasi, dan menyisakan sejumlah pertanyaan  ‘apa, mengapa dan bagaimana’



Orang cerdas secara spiritual, memang bukan berarti orang yang kaya pengetahuan hak-ikhwal tentang spiritual, melainkan mereka yang jiwanya  telah  merambah ke ranah spiritual, ke ranah supra-sadar (super conscious mind), di luar kesadaran konvensional, bahkan di luar mind.



Sejak dua dasawarsa yang lalu. Prof. Dr Hamka  telah mengingatkan, bahwa dalam pencarian kekuatan spiritual ada dua golongan. Golongan pertama melalui jalan pikiran, dengan berorientasi pada ilmu-ilmu pasti, dan satu lagi dengan jalan perasaan,  jalan zauq.



“Berkat kesungguhan hati kedua golongan itu,  sementara golongan pertama masih men-cari-cari, kadang-kadang bertemu dengan sudut kebenaran,  dan kadang-kadang terpero-sok ke jalan lain,  maka keduanya merenung di dalam rasa, dan puaslah mereka dengan rasa itu. Kadang-kadang berjumpalah kedua jalan yang di tempuh itu, dan kebanyakan yang pertamalah yang bertakluk kepada yang kedua.

Sudah payah akal dan kepintaran mencari, yang didapat hanya sebagaian yang relative lalu tibalah kepada penyerahan bulat.  Merekapun masuklah kedalam alam kerohanian.  Di sanalah baru mereka mendapatkan kepuasan.



Kadang –kadang spirituall telah menjadi tempat pulang

dari orang yang telah payah berjalan.

Spiritual menjadi tempat lari dari orang yang telah terdesak,

tetapi pun spiritual  telah menjadi penguatan pribadi bagi yang lemah,

menjadi tempat berpijak yang teguh bagi yang kehilangan tempat berdiri.
(Prof. Dr. Hamka, Tasawuf, Perkembangan dan Kemurniannya,  Pustaka Panjimas, 1983).

0 Response to "Pembahasan Lengkap Tentang God Spot ( Titik Tuhan )"

Post a Comment