Dua belas tahun lalu, Jason Padgett yang drop-out dari sebuah universitas bekerja di toko furniture milik ayahnya. Namun, insiden penjambretan di sebuah karaoke bar di Tacoma, negara bagian Washington, Amerika Serikat, mengubah hidupnya untuk selamanya.
Setelah mengalami cedera otak dalam, Jason mulai melihat dunia di sekelilingnya dengan 'kacamata baru'. Ia juga menjadi terobsesi dengan matematika dan fisika.
Mulanya, pada usia ke-31, Jason adalah sosok 'gila pesta'. Punya potongan rambut mullet, mengendarai mobil Camaro merah. Ini awal perubahan hidupnya: pada 13 September 2002 malam, Jason pergi ke bar karaoke dekat rumahnya. Tak disangka, ia jadi korban penjambretan.
Dua pria menyerangnya dari belakang. Pukulan di bagian belakang kepalanya membuatnya tak sadarkan diri. Ia sempat dilarikan ke rumah sakit, dirawat karena mengalami lebam. Namun, ia dibolehkan pulang di malam yang sama.
Pagi berikutnya Jason bangun dan menemukan daya penglihatannya berubah. Ia bisa melihat hal-hal detil yang sebelumnya lolos.
Saat menyalakan keran di kamar mandi, ia melihat garis tegak lurus yang tergambar dari air yang mengalir. "Awalnya aku merasa heran dan khawatir. Namun, apa yang kulihat sedemikian cantik, aku berdiri kagum menatapnya," kata dia kepada New York Post, seperti dikutip dari laman Liputan6.com.
Jason Padgett lalu berhenti kerja dan menghabiskan waktu belajar matematika dan fisika, fokus pada fraktal -- pola berulang dalam geometris.
Ia yang awalnya tak punya bakat seni, mulai menggambar fraktal dalam detail yang ekstrem. Kadang-kadang perlu beberapa minggu untuk melakukannya.
Namun, kecenderungan barunya itu juga membawa dampak buruk. Sejak itu Jason tak pernah keluar, menjadi tertutup, dan mulai menghabiskan lebih banyak waktu di rumah -- menutup jendela dengan selimut dan menolak dikunjungi orang.
Ia juga menjadi terobsesi dengan kuman, mencuci tangannya kuat-kuat sampai merah. Jason juga tak akan memeluk putrinya sendiri jika buah hatinya itu tak mencuci tangan dengan benar.
Jason mengira, ia mulai gila. Sampai suatu hari ia melihat film dokumenter BBC tentang Daniel Tammet, seorang autis dengan savant syndrome -- suatu kondisi langka di mana orang dengan gangguan perkembangan saraf, gangguan autisme terutama spektrum atau cedera otak, menunjukkan kapasitas yang mendalam dan luar biasa atau kemampuan jauh melebihi dari apa yang akan dianggap normal.
"Ini dia, ini yang terjadi padaku. Ya Tuhan, orang lain dapat melihat apa yang saya lihat!" demikian pikir dia saat itu.
Setelah melihat dokumenter tersebut, ia memutuskan untuk menghubungi Dr Darold Treffert, ahli savantisme, yang kemudian mendiagnosis dia dengan 'acquired savant syndrome'.
Saat ini hanya ada sekitar 40 orang di dunia yang didiagnosa dengan sindrom -- di mana orang terlihat lebih cerdas setelah mengalami cedera otak.
Jason makin memahami kondisinya setelah pergi ke Finlandia untuk diperiksa Dr Berit Brogaard.
Menggunakan fMRI untuk memindai otak Jason, Dr Brogaard menemukan bahwa sisi kiri pasiennya lebih aktif, khususnya di lobus parietal di mana kemampuan matematika berada.
Diduga, setelah mengalami cedera, neurotransmiter membanjiri sisi kiri otak Jason dan akhirnya mengubah struktur, membuatnya menjadi sangat istimewa.
Jason memutuskan untuk menerapkan kapasitas otak barunya dengan mendaftar di perguruan tinggi. Kini, pada usia 43 tahun, ia yakin setiap orang punya potensi jenius yang belum terungkap.
"Saya adalah bukti hidup bahwa ada kekuatan (pikiran) yang terkubur dalam diri kita semua," kata dia. "Jika bisa terjadi kepada saya, itu bisa terjadi pada siapa saja."
Ia menuliskan pengalaman uniknya itu dalam sebuah memoar berjudul, Struck by Genius: How a Brain Injury Made Me a Mathematical Marvel.
Cedera Otak, Jadi Bisa 4 Bahasa
Korban cedera otak menjadi jenius juga pernah dialami seorang gadis Malaysia. Pada 2012, Noraini Ismail yang kala itu berusia 17 tahun, mengendarai sepeda motor, berboncengan dengan saudara lelakinya. Nahas, kendaraan mereka menabrak truk di kawasan Besut, bulan lalu.
Noraini lantas dirawat di Rumah Sakit Universiti Sains Malaysia di Kubang Kerian. Ia sempat tak sadarkan diri selama 11 jam. Dokter menemukan gumpalan darah di bagian otaknya.
Tak lama kemudian ia membaik, dan mulai bisa bicara. Tapi kata-kata yang meluncur dari mulutnya tak bisa dimengerti. "Bahasa aneh" itu ternyata gabungan dari Bahasa China, Jepang, Korea, dan Indonesia.
Noraini pun mengaku heran dengan kemampuan barunya itu. Padahal, ia sama sekali tak belajar bahasa-bahasa itu. Meski, ia mengaku gemar nonton drama Korea dan China di televisi sebelum celaka. "Tak pernah terlintas dalam benak, saya bisa bicara dalam bahasa yang sama dengan para aktor dalam drama itu," kata dia.
Tak hanya bicara, selera makan Noraini pun berubah pasca kecelakaan. Ia kini lebih suka makan ikan dan minum susu kedelai, makanan favoritnya dulu, petai dan kecap "budu" sama sekali tak disentuh.
Ia juga makin feminin, tak tomboy seperti sebelumnya. Yang bikin ibunya senang, Noraini makin hormat pada orangtua.
Setelah mengalami cedera otak dalam, Jason mulai melihat dunia di sekelilingnya dengan 'kacamata baru'. Ia juga menjadi terobsesi dengan matematika dan fisika.
Mulanya, pada usia ke-31, Jason adalah sosok 'gila pesta'. Punya potongan rambut mullet, mengendarai mobil Camaro merah. Ini awal perubahan hidupnya: pada 13 September 2002 malam, Jason pergi ke bar karaoke dekat rumahnya. Tak disangka, ia jadi korban penjambretan.
Dua pria menyerangnya dari belakang. Pukulan di bagian belakang kepalanya membuatnya tak sadarkan diri. Ia sempat dilarikan ke rumah sakit, dirawat karena mengalami lebam. Namun, ia dibolehkan pulang di malam yang sama.
Pagi berikutnya Jason bangun dan menemukan daya penglihatannya berubah. Ia bisa melihat hal-hal detil yang sebelumnya lolos.
Saat menyalakan keran di kamar mandi, ia melihat garis tegak lurus yang tergambar dari air yang mengalir. "Awalnya aku merasa heran dan khawatir. Namun, apa yang kulihat sedemikian cantik, aku berdiri kagum menatapnya," kata dia kepada New York Post, seperti dikutip dari laman Liputan6.com.
Jason Padgett lalu berhenti kerja dan menghabiskan waktu belajar matematika dan fisika, fokus pada fraktal -- pola berulang dalam geometris.
Ia yang awalnya tak punya bakat seni, mulai menggambar fraktal dalam detail yang ekstrem. Kadang-kadang perlu beberapa minggu untuk melakukannya.
Namun, kecenderungan barunya itu juga membawa dampak buruk. Sejak itu Jason tak pernah keluar, menjadi tertutup, dan mulai menghabiskan lebih banyak waktu di rumah -- menutup jendela dengan selimut dan menolak dikunjungi orang.
Ia juga menjadi terobsesi dengan kuman, mencuci tangannya kuat-kuat sampai merah. Jason juga tak akan memeluk putrinya sendiri jika buah hatinya itu tak mencuci tangan dengan benar.
Jason mengira, ia mulai gila. Sampai suatu hari ia melihat film dokumenter BBC tentang Daniel Tammet, seorang autis dengan savant syndrome -- suatu kondisi langka di mana orang dengan gangguan perkembangan saraf, gangguan autisme terutama spektrum atau cedera otak, menunjukkan kapasitas yang mendalam dan luar biasa atau kemampuan jauh melebihi dari apa yang akan dianggap normal.
"Ini dia, ini yang terjadi padaku. Ya Tuhan, orang lain dapat melihat apa yang saya lihat!" demikian pikir dia saat itu.
Setelah melihat dokumenter tersebut, ia memutuskan untuk menghubungi Dr Darold Treffert, ahli savantisme, yang kemudian mendiagnosis dia dengan 'acquired savant syndrome'.
Saat ini hanya ada sekitar 40 orang di dunia yang didiagnosa dengan sindrom -- di mana orang terlihat lebih cerdas setelah mengalami cedera otak.
Jason makin memahami kondisinya setelah pergi ke Finlandia untuk diperiksa Dr Berit Brogaard.
Menggunakan fMRI untuk memindai otak Jason, Dr Brogaard menemukan bahwa sisi kiri pasiennya lebih aktif, khususnya di lobus parietal di mana kemampuan matematika berada.
Diduga, setelah mengalami cedera, neurotransmiter membanjiri sisi kiri otak Jason dan akhirnya mengubah struktur, membuatnya menjadi sangat istimewa.
Jason memutuskan untuk menerapkan kapasitas otak barunya dengan mendaftar di perguruan tinggi. Kini, pada usia 43 tahun, ia yakin setiap orang punya potensi jenius yang belum terungkap.
"Saya adalah bukti hidup bahwa ada kekuatan (pikiran) yang terkubur dalam diri kita semua," kata dia. "Jika bisa terjadi kepada saya, itu bisa terjadi pada siapa saja."
Ia menuliskan pengalaman uniknya itu dalam sebuah memoar berjudul, Struck by Genius: How a Brain Injury Made Me a Mathematical Marvel.
Cedera Otak, Jadi Bisa 4 Bahasa
Korban cedera otak menjadi jenius juga pernah dialami seorang gadis Malaysia. Pada 2012, Noraini Ismail yang kala itu berusia 17 tahun, mengendarai sepeda motor, berboncengan dengan saudara lelakinya. Nahas, kendaraan mereka menabrak truk di kawasan Besut, bulan lalu.
Noraini lantas dirawat di Rumah Sakit Universiti Sains Malaysia di Kubang Kerian. Ia sempat tak sadarkan diri selama 11 jam. Dokter menemukan gumpalan darah di bagian otaknya.
Tak lama kemudian ia membaik, dan mulai bisa bicara. Tapi kata-kata yang meluncur dari mulutnya tak bisa dimengerti. "Bahasa aneh" itu ternyata gabungan dari Bahasa China, Jepang, Korea, dan Indonesia.
Noraini pun mengaku heran dengan kemampuan barunya itu. Padahal, ia sama sekali tak belajar bahasa-bahasa itu. Meski, ia mengaku gemar nonton drama Korea dan China di televisi sebelum celaka. "Tak pernah terlintas dalam benak, saya bisa bicara dalam bahasa yang sama dengan para aktor dalam drama itu," kata dia.
Tak hanya bicara, selera makan Noraini pun berubah pasca kecelakaan. Ia kini lebih suka makan ikan dan minum susu kedelai, makanan favoritnya dulu, petai dan kecap "budu" sama sekali tak disentuh.
Ia juga makin feminin, tak tomboy seperti sebelumnya. Yang bikin ibunya senang, Noraini makin hormat pada orangtua.
0 Response to "Gara-Gara Cedera Otak, 2 Orang Ini Jadi Pandai Matematika & Bahasa"
Post a Comment