Kesesuaian Pendidikan “3 Kesalahan Dalam Pendidikan Bangsa”


Belum juga surut dari ingatan tetang wacana tes keperawanan bagi calon siswi yang akan masuk sekolah menengah di salah satu kabupaten di Sumsel.

Kini dunia pendidikan kembali digegerkan dengan kehadiran kuesioner yang mempertanyakan ukuran kelamin, berkaitan penjaringan data perkembangan kesehatan remaja.

Bahkan Kuisioner data kesehatan siswa SMP di Aceh yang mencantumkan gambar alat kelamin disorot sejumlah media asing. Polemik ini menjadi perhatian Straitstimes Singapura, The Standar Hong Kong dan media lain.

Justru dari provinsi terujung bagian Barat Indonesia, fakta ini terungkap. Hal itu kemudian membuka mata semua orang, bahwa sejak sekian lama telah beredar kuesioner yang di dalamnya memuat gambar-gambar vulgar. Apalagi kuesioner ini diperuntukkan bagi siswa yang memasuki usia pubertas.

Lebih mengagetkan lagi, ternyata program ini telah sekian lama dilakukan, yaitu sejak tahun 2010. "Kuisioner Penjaringan Kesehatan Peserta Didik Sekolah Lanjutan" ini bersifat rahasia dan hanya menjadi konsumsi siswa.

Jika provinsi atau daerah lain lain diluar Aceh diam atau tanpa respon, bukan berarti halitu tanpa ada masalah. Karena, dampaknya terhadap siswa yang menjadi obyek penjaringan data tentu saja akan sama.

Bocornya rahasia isi kuesioner ini ke tangan salah seorang orangtua siswa di wilayah provinsi Aceh justru seharusnya dijadikan sebagai sebuah berkah bagi empat kementerian terkait yaitu Kementrian Kesehatan bersama dengan persetujuan Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, dan Kementerian Dalam Negeri.

Bagi pembuat kebijakan untuk segera membenahi teknis pelaksanaannya maupun siswa sehingga tidak malahan berdampak buruk bagi perkembangan psikisnya.

Maksud baik Kementerian Kesehatan yang telah dilaksanakan dengan dasar Keputusan Bersama 4 menteri Nomor 26 tahun 2003 tentang Pembinaan dan Pengembangan UKS (usaha kesehatan sekolah).

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 741/Menkes/PER/VIII/2008 tentang Standar pelayanan Minimal bidang Kesehatan Kabupaten/Kota, serta Peraturan pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian urusan Pemerintah.

Kegiatan ini memang dalam rangka penjaringan data perkembangan kesehatan reproduksi remaja. Namun apa yang dilakukan selama ini dalam istilah Jawa disebut, bener nanging ora pener (benar tapi tidak tepat).

Beberapa hal yang mendasari pemikiran ini diantaranya :

Pertama, apa yang tertuang dalam kuesioner terlalu vulgar dan menjadi sebuah gambar yang terlalu sensitif untuk diperlihatkan kepada anak-anak usia pubertas. Benar bahwa kuesioner tersebut dimaksudkan untuk keperluan data kesehatan dan tidak ada unsur pornografi, namun menjadi tidak tepat ketika kuesioner harus sampai menanyakan pada bagian ukuran alat kelamin.

Selain tidak rasional dan tidak ada hubungannya dengan permasalahan reproduksi anak dan remaja. Hal ini tidak mempertimbangkan perkembangan psikis anak seusia itu jika melihat gambar organ-organ seksual terpampang secara jelas, tanpa penjelasan dan pendampingan yang memadai. Apa yang ada di benak anak remaja pastinya berbeda dengan maksud dan tujuan yang ingin dicapai.

Kedua, kurangnya komunikasi dan koordinasi atas teknis pelaksanaan pengambilan data. Kejadian ini menunjukkan tidak adanya koordinasi antara Dinas Kesehatan sebagai pelaksana dan Dinas Pendidikan serta pihak sekolah dimana sampel penelitian berada.

Hal ini terlihat dari kesimpang-siuran dari teknis pelaksanaan yang dilakukan oleh para petugas Dinas Kesehatan ketika masuk ke dalam wilayah sekolah bekerjasama dengan guru. Bahkan, mereka juga sama sekali tidak tahu menahu mengenai maksud, tujuan serta isi dari kuesioner tersebut.

Pelaksanaan pengambilan data tersebut seharusnya direncakanan secara matang. Perlu dilakukan briefing singkat kepada pihak sekolah sebelum hari-H ataupun Jam-D penyebaran kuesioner.

Bahkan lebih baik jika jauh hari sebelumnya seluruh siswa, guru dan juga orangtua siswa diberikan sosialisasi mengenai ini. Pengetahuan yang telah didapatkan dari sosialisasi ini akan berdampak kepada kesiapan seluruh pelaku penelitian, terutama siswa sebagai objek yang akan diteliti.

Ketiga, waktu pelaksanaan pegambilan data tidak semestinya hanya sekedar menyela kegiatan belajar mengajar (KBM) siswa di sekolah, namun harus ada waktu khusus. Program ini adalah program resmi yang mempunyai dasar hukum yang kuat.

Harus ada hari khusus untuk pelaksanaannya. Pemilihan dan pemberian waktu yang tepat dan cukup merupakan sebuah penghargaan terhadap siswa sebagai obyek penelitian. Siswa dalam keadaan tenang dan tidak dalam keadaan tertekan.

Apalagi isian kuesioner tersebut seluruhnya berkaitan dengan dirinya. Jika responden memberikan jawaban dalam keadaan tidak nyaman dan tertekan, maka hasil penelitian akan menjadi bias (menyimpang), sehingga akhirnya tujuan penelitian untuk merekam seluruh fakta tidak akan tercapai. Ketidaknyamanan yang dirasakan oleh para siswa ini bahkan dikategorikan sebagai sebuah bentuk kekerasan simbolik.


Bourdieu (1991) dalam Koesoema (2013), menyebutkan kekerasan simbolik ini akan berdampak lebih dahsyat karena beroperasi sedemikian latennya karena ia bermain dalam pikiran.

Kekerasan simbolik menjebak dan menjerat individu dalam sebuah belenggu makna tanpa mereka sadari melindas eksistensi dan membelenggu kebebasannya untuk bertumbuh menjadi manusia yang utuh.

Setidaknya tiga hal yang kurang tepat itu, harus disegerakan untuk dibenahi. Karena, pendidikan seharusnya memberikan kepada seluruh siswa rasa aman dan nyaman bagi mereka untuk menggapai harkat dan martabat yang dicitakan.

Kekeliruan dalam menerapkan cara dan kebijakan akan memberikan dampak yang justru menjauhkan jalan menuju cita-cita mulia tersebut. ***

Penulis adalah guru SMKN 2 Sewon, alumni
Manajemen Kepengawasan Pendidikan di MM UGM.

Oleh      : Oleh Arifah Suryaningsih
Sumber : suarakarya-online.com

0 Response to "Kesesuaian Pendidikan “3 Kesalahan Dalam Pendidikan Bangsa”"

Post a Comment