Cinta Sejati Kepada Nabi Muhammad Saw.


Sudah lebih dari separuh malam ia berdiri tegak di depan kemah itu. Sesekali mengitari, lalu berhenti di setiap sudutnya. Matanya siaga mengintai. Pendengarannya senantiasa terjaga. Genggamannya tak lepas mendekap gagang pedangnya yang terhunus. Seperti tak kenal lelah.

Padahal, sejak dari awal malam tadi izin untuk beristirahat telah sampai ke telinga setiap prajurit. Kembali ia berputar, memperhatikan setiap gerak-gerik, sekalipun itu gerakan ular derik di bawah pasir.

Kemenangan atas Khaibar beberapa waktu lalu tak cukup membuatnya tenang untuk beristirahat rupanya. Kecintaan yang mendalam terhadap orang yang sedang berada di dalam kemah mengalahkan rasa lelah yang tersisa dari pertempuran itu.

Kekhawatiran atas seorang yang dicinta meliputi dirinya. Seperti kekhawatiran seorang ibu atas keselamatan jiwa anaknya.

Setelah perang Khaibar berakhir dan dimenangkan kaum Muslimin atas kehendak Allah dan bashirah yang telah disampaikan kepada Shafiyyah binti Huyay melalui mimpi pada waktu sebelumnya, Rasulullah SAW pun memerdekakan dan menikahinya.

Penduduk Khaibar yang kalah perang dan baru saja memeluk Islam pun bersuka cita karena merasa Rasulullah telah menjadikan mereka saudara. Sang Nabi telah mempersunting seorang perempuan dari kalangan mereka, yakni dari kalangan Bani al-Nadhir. Maka, malam itu pun diliputi rahmat dan keberkahan.

Sepertiga malam telah berlalu. Embusan angin Sahara kian menusuk. Tapi, orang yang sedang berdiri tegak di depan kemah itu tetap bergeming.

Tak sekalipun ia menekukkan kakinya barang sebentar untuk sekadar mengusir peluh atau meringkukkan badan. Seperti ada akar yang menghujam di bawah telapak kakinya.

Fajar kian menyingsing. Saatnya hewan-hewan malam Padang Sahara kembali ke sarangnya. Sebagian prajurit sudah terjaga. Beberapa darinya sedari tadi telah tersungkur bermunajat kepada Rabb-nya.

Seorang yang dicinta pun sedari tadi telah menampakkan aktivitasnya dari dalam kemah. Namun, keberadaan seseorang yang semalaman berjaga di depan kemah tak kunjung disadari.

Rasulullah SAW pun akhirnya keluar dari kemahnya hendak bergabung dengan sahabat lainnya untuk menunaikan shalat Subuh. Tak lama berselang, setelah menyingkap tabir, beliau sedikit dikejutkan dengan seorang yang masih berdiri tegak di depan kemahnya.

“Ada apa denganmu wahai Abu Ayyub?” tanya Beliau. Abu Ayyub menjawab, “Wahai Rasulullah, aku khawatir Shafiyyah binti Huyay mencelakaimu karena engkau baru saja memerangi kaumnya dan ia juga baru saja memeluk Islam.”

Mendengar keterangan dari seorang yang telah berjaga semalaman itu yang tak lain adalah sahabat, Abu Ayub al-Anshari, Rasulullah SAW pun berdoa untuknya, “Ya Allah, jagalah Abu Ayub sebagaimana ia semalam penuh menjaga diriku.”

Kecintaan para sahabat kepada Rasulullah ibarat cinta sebuah penciptaan terhadap titah Yang Mahamenciptakan. Sebab, Allah SWT berfirman, “Katakanlah: ‘Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’. Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (QS Ali Imran: 31).

Kecintaan seperti ini jauh lebih dalam dibandingkan dasar lautan. Cinta seorang hamba sebagai perwujudan sebuah penghambaan. Cinta kepada Rasulullah adalah perwujudan cinta kepada Allah.

Perwujudan cinta kepada Rasulullah adalah dengan mengikuti sunah-sunahnya dan meneruskan risalahnya. Cinta yang sejati akan menggerakkan dimensi ruhani dan jasad orang yang mencintai ke arah dimensi orang yang dicintai. Sehingga, tidak dikatakan mencintai jikalau seseorang tidak menyelaraskan pribadinya terhadap orang yang dicintai.

Dari Anas bin Malik, Rasulullah saw bersabda, “Belum sempurna iman seseorang di antara kamu sebelum ia mencintaiku melebihi daripada cintanya kepada anaknya, bapaknya, dan kepada manusia semuanya.” (HR Muslim).


Oleh: Muhammad Reza Fadil
Sumber : Republika.co.id

0 Response to "Cinta Sejati Kepada Nabi Muhammad Saw."

Post a Comment