Inilah Cara Otak Manusia Membentuk Kalimat


Sudah lama diketahui, daerah itu terhubung satu sama lain oleh jalur ‘materi putih’ atas dan bawah yang merupakan string sel lipid dan membawa sinyal saraf. Bagian ini juga belum dipelajari mengingat luasnya fungsi neuron.

Hasil riset terbaru yang diterbitkan jurnal Neuron mengungkap

untuk pertama kalinya peran penting dan berbeda yang dimainkan dua jalur ini. Sementara kosa kata diakses sepanjang jalur yang lebih rendah, arti kombinasi kata diakses sepanjang jalur atas.

Untuk sampai pada kesimpulan itu, para peneliti menggunakan pencitraan resonansi magnetik (MRI) untuk memvisualisasiotak pasien penderita neurodegenerative yang disebut ‘aphasias’ yang mempengaruhi kemampuan bahasa mereka. Di saat sama, kemampuan pasien memahami kalimat diuji.

Para peneliti menemukan perbedaan jelas antara pasien yang memiliki kerusakan pada jalur bahasa bagian atas dan jalur bawah. Terungkap, rute terpisah penggunaan otak memanfaatkan informasi yang tersimpan di daerah Broca dan Wernicke. “Jika jalur bawah Anda rusak, kerusakan ada di leksikon dan semantik,” jelas pemimpin peneliti Stephen Wilson dari University of Arizona.

Seringkali orang lupa nama sesuatu, lupa arti kata namun secara mengejutkan, sangat pandai dalam membangun kalimat, lanjutnya. “Kerusakan di jalur atas berakibat sebaliknya, pasien bisa mengetahui nama dengan cukup baik, tahu arti kata dan memahaminya namun ketika diminta mengingat untuk mencari tahu arti kalimat yang kompleks, mereka gagal,” katanya.

Jika sulit memahami ini, contoh sederhananya, para peneliti menanyai pasien. “Seorang pria sedang berjalan di sepanjang rel kereta api. Dia tak mendengar kereta datang. Apa yang terjadi pada orang itu?.”

Kebanyakan orang normal akan menjawab, “Orang itu ditabrak kereta api.” Hasil studi ini menemukan, orang yang jalur bahasa atasnya rusak namun jalur bawah sempurna utuh akan menjawab “kereta api, pria, tertabrak.”

Hal ini mengingatkan pada bahasa primitif yang bisa diperoleh simpanse, seperti Nim Chimpsky, seekor simpanse yang diajarkan bahasa isyarat ilmuwan pada 1970. Nim tak memiliki kapasitas sintaks dan akan menandai rangkaian kata secara acak seperti ‘Beri saya beri jeruk makan jeruk makan jeruk saya memberi saya makan jeruk memberikan Anda’.

Oleh      : Billy A Banggawan
Referensi  : straitstimes.com


Sebaliknya, para peneliti menguji pemahaman kalimat pasien dengan menyajikan kalimat seperti, “Gadis yang mendorong anak itu berwarna hijau,” dan kemudian menanyakan mana dari dua gambar yang menggambarkan skenario akurat itu. Gambar itu sendiri menampilkan, gadis hijau mendorong anak dan gadis mendorong anak hijau.

“Orang yang jalur bawahnya rusak bisa melakukan hal ini dengan sangat baik. Hal ini menunjukkan, kerusakan pada jalur ini tak mengganggu kemampuan manusia menggunakan fungsi kecil kata-kata atau ujung fungsional pada kata-kata untuk mengetahui hubungan antara kata-kata dalam kalimat,” kata Wilson. Namun kelompok pasien dengan yang rusak jalur atasnya tak mengetahui beda gadis hijau dan anak hijau. [mdr]

Deteksi Kesehatan Lewat Kecepatan Berjalan

 Langkah kaki bisa memberi petunjuk visual yang berhubungan dengan kondisi kesehatan kognitif. Studi Boston Medical Centre Amerika menemukan hubungan antara kecepatan berjalan dan risiko demensia.

Seperti dikutip huffingtonpost.co.uk, mereka yang memiliki gaya berjalan lambat berisiko mengalami penurunan daya ingat lebih buruk di masa depan, dibandingkan mereka yang terbiasa melangkah dengan ritme cepat.

Selain langkah kaki, penelitian ini juga mengaitkan risiko demensia dengan kekuatan pegangan tangan. Mereka yang memiliki kekuatan genggaman lemah memiliki risiko

penurunan daya ingat lebih buruk di masa depan.

Kesimpulan tersebut muncul melalui serangkaian tes terhadap 2.400 pria dan wanita berusia sekitar 62 tahun. Dengan periode analisis selama 11 tahun, tes mencakup kecepatan berjalan, kekuatan pegangan tangan, dan kualitas fungsi kognitif.

Berdasar hasil pemindaian otak, sebanyak 34 responden mengembangkan demensia selama periode 11 tahun. Sementara 70 responden lainnya mengalami stroke.

Hasil analisis memperlihatkan bahwa mereka yang memiliki langkah kaki lambat 1,5 kali lebih mungkin mengembangkan demensia. Sementara mereka yang memiliki pegangan tangan kuat memiliki risiko 42 persen lebih rendah mengalami stroke di atas usia 65 tahun.

"Ini hanya tes dasar tentang risiko demensia dan stroke yang dapat dengan mudah dilakukan seorang ahli saraf dan dokter umum," kata Dr Erica Camargo, yang terlibat dalam penelitian ini.

Meski temuan ini memberikan pencerahan mengenai tanda-tanda awal demensia, peneliti masih memerlukan studi lebih lanjut untuk mengungkap secara detail hubungan yang muncul.

Dr Marie Janson, direktur pengembangan di Lembaga Penelitian Alzheimer Inggris, setuju dengan rencana penelitian lanjutan tersebut lantaran masih ada sejumlah pertanyaan mengganjal.

"Apakah masalah fisik, seperti kesulitan berjalan, bisa menjadi pertanda awal terkait demensia. Lalu, apakah responden-responden itu memiliki masalah kesehatan lain yang mungkin memengaruhi kecepatan berjalan," katanya.

Meski demikian, Janson melihat temuan ini sebagai investasi penting untuk menemukan cara efektif mengobati dan mencegah demensia.

Yang pasti, ini bukan satu-satunya penelitian yang mengaitkan kecepatan berjalan dengan kondisi kesehatan. Pada 2009, sebuah penelitian mengungkap hubungan kuat antara kecepatan berjalan dan risiko penyakit jantung. Penelitian lain yang dipublikasikan Journal of the American Medical Association, juga memperlihatkan hubungan antara kecepatan berjalan dan tingkat harapan hidup.

Dr Anne Corbett dari Masyarakat Alzheimer, tetap mengingatkan pentingnya gaya hidup sehat untuk kesehatan jangka panjang. "Kami merekomendasikan diet seimbang yang sehat, tidak merokok, menjaga berat badan, berolahraga teratur, dan rutin memeriksa tekanan darah dan kolesterol." (hp).

Referensi : VIVAnews